Presiden SBY mengajukan konsep three plus one sebagai solusi untuk
menghadapi gejolak yang terjadi di industri kelapa sawit. Solusi ini
ditujukan kepada masalah harga, hambatan perdagangan, lingkungan
ditambah lagi sosial. Selain itu, SBY menyarankan sinergi di antara
berbagai pihak seperti pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, LSM, dan
media.
Kondisi perekonomian Indonesia dan dunia kembali mengalami gejolak
terutama emerging market industri kelapa sawit akibat turunnya volume
ekspor dan harga CPO dunia. Hal ini perlu menjadi perhatian serius yang
memerlukan sinergi kebersamaan antara pemerintah baik pusat dan daerah.
Pada 2006, Presiden SBY sempat menerima kunjungan tamu negara yang
merupakan seorang pemimpin dari Uni Eropa. Dalam pertemuan tersebut,
kelapa sawit mendapatkan sorotan sebagai faktor merusak lingkungan.
Terus terang, kata SBY, pernyataan ini membuat dirinya tidak gembira dan
menyanggah perkataan tamu tersebut.
“Saya minta, dia tidak begitu saja menggeneralisasi dan memvonis kelapa
sawit identik dengan kerusakan lingkungan,” kata SBY dalam pidato
pembukaan IPOC di Bandung.
Selanjutnya pada 2010, SBY bercerita pernah bertemu dengan kalangan
aktivis NGO internasional salah satunya adalah Greenpeace. Disitu, dia
mengajak supaya kalangan LSM dapat bekerjasama dengan
perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Artinya, apabila ada
kesalahan yang dilakukan silakan untuk dikritik. Tetapi setelah
dilakukan perbaikan , maka sebaiknya mereka harus berani berkata kepada
dunia bahwa kelapa sawit di Indonesia telah melakukan upaya perbaikan
dan tidak merusak lingkungan. Sehingga, produk kelapa sawit itu tidak
patut untuk diembargo dan dihambat, bahkan ditolak masuk.
Di Forum Asian Pacific Economic Cooperation (APCE), SBY mendapatkan
laporan dari Gita Wirjawan selaku Menteri Perdagangan bahwasannya
negosiasi cukup alot. Namun begitu, namanya negosiasi memiliki pola take
and give dimana Indonesia harus memainkan peran yang dapat fleksibel.
Tetap dengan tujuan supaya kelapa sawit diterima oleh negara lain dan
bukan menjadi produk yang tidak diterima dunia.
“Kita harus fight apabila memang ada ketidakadilan terhadap komoditas
yang diperdagangkan secara nasional maupun secara internasional,” papar
lulusan Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973 ini.
Sebagai solusi atas permasalahan yang terjadi, SBY mengajukan solusi
bernama three plus one. Pertama, isu mengenai harga CPO yang diharapkan
berdampak baik bagi Indonesia di mana harga stabil tetapi tidak boleh
terlalu rendah. Sebagaimana sudah menjadi teori umum yaitu price is
about supply and demand. Maka, ketika komoditas sawit membanjiri pasar
di dunia tetapi permintaan sedang mengalami penurunan terutama negara
Cina dan India. Akibat dari melemahnya pertumbuhan ekonomi di kedua
negara tadi. Sementara Eropa dan Amerika Serikat belum sepenuhnya pulih
secara signifikan. Hal ini berdampak kepada harga yang turun seperti
itulah hukum ekonominya.
Sebagai solusi jangka menengah dan jangka panjang dari penurunan harga
perlu ditunjang dengan meningkatnya lagi pertumbuhan ekonomi dunia.
Tetapi, Indonesia tidak hanya menunggu pertumbuhan ekonomi global. Untuk
itu, perlu diperkuat dengan dari pasar domestik melalui kontribusi palm
oil untuk biofuel di dalam negeri. Jumlahnya dapat diperkirakan
mencapai 3 juta-5 juta ton dan harapan saya minimal 20 % dari solar
biofuel berasal dari palm oil.
Susilo Bambang Yudhoyono menambahkan langkah mandatori apabila berhasil
dijalankan akan meningkatkan permintaan secara pesat di dalam negeri dan
memberikan insentif pula. Dampaknya, akan membuat harga minyak sawit
lebih baik kembali.
Oleh karena itu, menurut SBY, dirinya sudah berbicara kepada menteri
pertanian bahwa bulan depan perlu dirumuskan kebijakan mandatori
biodiesel ini. Jika perlu akan dibuat instruksi presiden dan peraturan
presiden Kebijakan yang baik ini bisa saja masuk angin jika tidak
ditindaklanjuti secara cepat karena dapat muncul masalah baru.
“Saya minta kepada menteri sekretaris negara untuk menghubungi
menteri-menteri terkait dan segera rumuskan duduk bersama. Sebaiknya
perlu diundang menteri ESDM, Menteri Pertanian, Dirut Pertamina, Menteri
Perdagangan, dan Menteri Perindustria untuk dirumuskan secara bersama.
Ini ide bagus karena semua setuju manfaatnya riil tetapi kalau tidak
diimplementasikan lebih cepat maka sangat disayangkan,” imbuh SBY.
Di tingkat internasional, Indonesia dapat membangun kerjasama dengan
negara sahabat seperti Malaysia sesama produsen CPO. Sebagai kepala
pemerintahan di Indonesia, jelas SBY, dirinya menggunakan forum
internasional dalam memperjuangkan kepentingan bersama. Forum yang
tersedia ini adalah G-21, APEC, forum ASEAN yang bertujuan sebagai
kolaborasi regional dan global.
Solusi kedua, bagaimana menghadapi hambatan perdagangan dimana perlu
dilakukan kegiatan negosiasi. Negosiasi ini ditekankan supaya Indonesia
tak mudah menyerah dan jangan karena persaingan dagang lalu Indonesia di
persalahkan dan dicari-cari alasan sebagai perusak lingkungan. Untuk
itu, kita mesti mendapatkan keadilan. Di dalam hubungan internasional
itu ada strategi saling membalas. Artinya, apabila komoditas kita
dihalangi masuk ke negara tertentu maka Indonesia juga dapat melarang
impor komoditas dari negara tadi.
“Ada baiknya dilakukan sebuah kolaborasi dari pemerintah dan dengan
dunia usaha. Begitupula dijalankan antara Indonesia dan negara-negara
sahabat. Kita akan bekerja dan terus bekerja,“ungkap putra asli Pacitan
ini penuh semangat.
Solusi ketiga untuk bidang lingkungan, kata SBY, semua pemimpin usaha
perkebunan kelapa sawit berpedoman kepada praktek lingkungan yang
terbaik dan jangan rusak lingkungan. Sebab, presiden dan menteri sudah
pasang badan. Jangan sampai, pemerintah bertarung di tingkat
internasional namun diantara pelaku usaha ceroboh merawat lingkungan.
Dilanjutkan SBY, standar ISPO bagus dan diharapkan sertifikasi berjalan
baik. Dengan demikian, kalau pemerintah membela sawit di di dunia
internasional maka dari itu pemerintah tidak cemas apakah pelaku usaha
memiliki sudah memiliki ISPO atau belum semua. “Ayo kita bekerjasama dan
bermitra dengan LSM internasional. Jadikan LSM itu mitra bukan musuh,”
papar SBY.
Dalam pandangan SBY, dunia ini penuh dengan perang persepsi sebaiknya
para pemimpin industri sawit membangun opini dan counter opinion. Jika
tidak dilakukan yang terjadi industri sawit akan dihakimi media.
Sehingga terbangun persepsi benar kelapa sawit itu merusak lingkungan
akibatnya kita yang rugi. Untuk itu, perlu digunakan cara yang cerdas
dan riil bukan artifisial bahwa pelaku usaha benar menjaga kelestarian
lingkungan.
Three plus one, ditambah dengan isu sosial. Menurut SBY, cegahlah
konflik dengan rakyat dan berikan mereka pekerjaan. Jika perkebunan
sawit tumbuh pastikan juga masyarakat tumbuh yang berpengaruh positif
terhadap penghasilan mereka nantinya. Masyarakat yang diberikan
pekerjaan akan mendapatkan hidup layak sehingga tidak perlu khawatir
munculnya konflik dan kasus kekerasan.
“Manfaatkanlah CSR perusahaan dengan baik. Memang sepertinya ada
anggaran tambahan tetapi itu bagian dari modal sosial, yang namanya
modal itu akan pasti membawa kebaikan bagi perusahaan. Imbas baiknya,
masyarakat ikut mengamankan dan mendukung perusahaan dimana masyarakat
tinggal disitu. Itulah tiga plus satu, konkret sederhana tetapi harus
segera dilaksanakan,” kata SBY.
Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia yang idealnya
paling Berjaya. Berjaya untuk industrinya dan rakyat yang sama-sama kita
cintai. SBY berpandangan peluang Indonesia sangatlah besar karena
mempunya 250 juta jiwa yang mengarah kepada tumbuhnya kelas konsumsi dan
tumbuhnya permintaaan. Tahun lalu, kelas menengah sekitar 45 juta jiwa
yang akan meningkat pada 2030 sebesar 135 juta jiwa, itu artinya
memerlukan pangan dan energi yang lebih.
Industri kelapa sawit yang diinginkan dalam jangka waktu 5-15 tahun
mendatang yang bersifat kuat berkelanjutan dan berdaya saing. Kesemua
hal ini dibutuhkan guna menghadapi gejolak dan krisis yang silih
berganti.
Demi menuju ke arah sana, jelas SBY, perlu dilakukan pembagian tugas dan
tanggung jawab antara tiga pihak, yang bisa disebut kontrak tanggung
jawab. Pertama Negara disini saya bicara pemerintah adalah pusat dan
daerah. Tanggung jawab negara dan kepala daerah seperti gubernur
walikota sebaiknya tidak membuat regulasi yang aneh maupun bertentangan
dengan kepentingan nasional.
Sebaiknya pemerintah daerah, imbuh SBY, memberikan perijinan untuk
kemudahan berusaha. Pemimpin daerah apabila ingin daerahnya maju,
ekonomi bergerak, lapangan kerja tercipta, maka harus mengundang
investor dan membuat bisnisnya hidup. Jika bisnis berjalan baik maka
pajak diperoleh dan terciptanya lapangan pekerjaan sehingga pasti akan
terpilih kembali waktu pilkada nanti.
Sekarang tanggung jawab pelaku usaha dengan meningkatkan produktivitas,
efisiensi dan daya saing. Lalu perkuat industri hilir supaya kalau
krisis terjadi maka dapat memanfaatkan pasar domestik. Potensi
menghasilkan produk-produk turunan yang dapat masuk ke dalam pasar kita
karena permintaan ada. “Tentu keterkaitan antara hulu dan hilir juga
penting karena mengembangkan industri hilir akan didukung dengan
pasokannya,” ujar SBY.
SBY meminta perusahaan untuk alokasikan dana bagi kegiatan riset
pengembangan dan inovasi. Sebab, hal inilah yang menjadi kelemahan
perusahaan Indonesia lantaran kurang kuat di bidang riset. Elemen daya
saing adalah kegiatan riset menjadi hal utama sektor industri swasta.
Yang ketiga, ada tanggung jawab civil society dalam hal ini diperlukan
peranan dari NGO dan media massa. Jadi, silakan mereka mengontrol dan
kritisi kebijakan dibuat pemerintah termasuk pula dunia usaha kelapa
sawit. Jika kurang bagus maka katakan itu kurang bagus, kalau lalai ya
sebaiknya katakanlah lalai supaya tahu dan bisa bercermin. Namun,
sesudah ada perbaikan dari kritikan yang diberikan tadi kemudian terjadi
perubahan sesuai standar global. Dalam hal ini, NGO dan pers semestinya
menjelaskan pula bahwa dunia industri sudah berubah. Hal ini penting
dijalankan karena kalau tidak nanti Indonesia sendiri yang merugi.
Akibatnya, dunia akan menghambat produk sawit kita karena harus diingat
kompetisi global itu keras termasuk perdagangan antar komoditas.
*Tulisan ini disarikan dari pidato pembukaan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI,
dalam Konferensi IPOC and 2014 Price Outlook di Bandung, 28-29 November 2013.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
2011 News
Africa
AGRIBISNIS
Agriculture Business
Agriculture Land
APINDO
Argentina
Australia
Bangladesh
benih bermutu
benih kakao
benih kelapa
benih palsu
benih sawit
benih sawit unggul
Berita
Berita Detikcom
Berita Info Jambi
Berita Kompas
Berita Padang Ekspres
Berita Riau Pos
Berita riau terkini
Berita Riau Today
Berita Tempo
bibit sawit unggul
Biodiesel
biofuel
biogas
budidaya sawit
Bursa Malaysia
Cattle and Livestock
China
Cocoa
Company Profile
Corn
corporation
Cotton
CPO Tender Summary
Crude Palm Oil (CPO) and Palm Kernel Oil (PKO)
Dairy
Dairy Products
Edible Oil
Euorope
European Union (EU)
FDA and USDA
Fertilizer
Flood
Food Inflation
Food Security
Fruit
Futures
Futures Cocoa and Coffee
Futures Edible Oil
Futures Soybeans
Futures Wheat
Grain
HUKUM
India
Indonesia
Info Sawit
Investasi
Invitation
Jarak pagar
Kakao
Kapas
Karet
Kebun Sawit BUMN
Kebun Sawit Swasta
Kelapa sawit
Kopi
Law
Lowongan Kerja
Malaysia
Meat
MPOB
News
Nilam
Oil Palm
Oil Palm - Elaeis guineensis
Pakistan
palm oil
Palm Oil News
Panduan Pabrik Kelapa Sawit
pembelian benih sawit
Penawaran menarik
PENGUPAHAN
perburuhan
PERDA
pertanian
Pesticide and Herbicide
Poultry
REGULASI
Rice
RSPO
SAWIT
Serba-serbi
South America
soybean
Tebu
Technical Comment (CBOT Soyoil)
Technical Comment (DJI)
Technical Comment (FCPO)
Technical Comment (FKLI)
Technical Comment (KLSE)
Technical Comment (NYMEX Crude)
Technical Comment (SSE)
Technical Comment (USD/MYR)
Teknik Kimia
Thailand
Trader's Event
Trader's highlight
Ukraine
umum
USA
Usaha benih
varietas unggul
Vietnam
Wheat
0 comments:
Posting Komentar