Dalam proses pengolahan minyak sawit (CPO) dihasilkan limbah cairan sekitar 2,5 m3/ton CPO yang diproduksi. Limbah ini mengandung bahan pencemar (padatan) yang tinggi, yaitu BOD sekitar 20.000 – 60.000 mg/l (Wenten, 2004). Pengurangan bahan padatan dari cairan ini dilakukan dengan menggunakan suatu alat ‘decanter’ yang menghasilkan solid ‘decanter atau lumpur sawit. Bahan padatan ini berbentuk seperti lumpur, dengan kandungan air sekitar 75 %, sehingga disebut lumpur sawit. Sifat fisik yang demikian ini menimbulkan masalah dalam pengangkutan dan penyimpanan lumpur sawit, sehingga harus dikeringkan terlebih dahulu. Bila lumpur sawit dikeringkan, akan berwarna kecoklatan dan teksturnya kasar dan keras.
Lumpur sawit masih belum banyak dimanfaatkan secara ekonomi. Di areal perkebunan, lumpur sawit digunakan sebagai penimbun jurang, bahkan lumpur sawit sering dibuang sembarangan sehingga menimbulkan polusi bagi masyarakat di sekitar perkebunan (Yeong, 1982; Medan Pos, 1998, Sriwijaya Post, 2004). Kandungan air yang cukup tinggi, merupakan salah satu faktor pembatas dalam penggunaan bahan ini karena membutuhkan upaya pengeringan. Faktor pembatas lain pengggunaan lumpur sawit sebagai bahan pakan unggas adalah tingginya kadar serat kasar (29,76%) dan kecernaan asam amino yang rendah (Hutagalung, 1978). Disamping itu, kandungan gizi lumpur sawit juga sangat bervariasi (Sinurat, 2003).
Besarnya variasi ini tergantung pada banyak hal, termasuk pada perbedaan proses pemisahannya dari minyak sawit. Meskipun demikian, beberapa penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan lumpur sawit sebagai bahan pakan unggas
Hasil penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak menunjukkan bahwa lumpur sawit kering dapat digunakan 5% didalam ransum ayam pedaging (Sinurat et al., 2000). Pemberian pada taraf yang lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan performan ayam (penurunan konsumsi ransum dan pertumbuhan yang lebih lambat). Penurunan performan ini terjadi karena semakin meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum dengan meningkatnya kadar lumpur sawit.
Penggunaan lumpur sawit kering dalam ransum ayam ras petelur hingga 20% tidak menyebabkan gangguan terhadap produksi telur, bobot telur, efisiensi penggunaan pakan dan kualitas ("HU") telur (Yeong dan Azizah 1987). Level ini dianggap cukup aman untuk diberikan pada ayam ras petelur, tetapi lumpur sawit yang digunakan mengandung serat kasar (16,8%) yang rendah dan protein (13,0 %) yang tinggi dibandingkan dengan kadar serat kasar dan protein lumpur sawit yang umum dilaporkan.
Di Nigeria, lumpur sawit juga digunakan untuk pakan ayam yang berkeliaran dengan saran penggunaan 10 - 30% dalam ransum (Sonaiya, 1995). Sebaliknya penelitian di dalam negeri (Karo-karo et al., 1994) menunjukkan bahwa pemberian lumpur sawit kering diatas 10% dalam ransum ayam buras periode pertumbuhan menyebabkan penurunan bobot badan dan konsumsi ransum. Sedangkan penggunaan lumpur sawit kering dalam ransum itik hingga 15 % tidak menimbulkan gangguan pertumbuhan, konsumsi ransum maupun persentase karkas (Sinurat et al., 2001a).
Dari berbagai uraian diatas disimpulkan bahwa lumpur sawit kering dapat digunakan dalam ransum ayam broiler 5%, ayam ras petelur 15 – 20%, ayam kampung 10% dan itik 15%. (Dari berbagai sumber)
Lumpur sawit masih belum banyak dimanfaatkan secara ekonomi. Di areal perkebunan, lumpur sawit digunakan sebagai penimbun jurang, bahkan lumpur sawit sering dibuang sembarangan sehingga menimbulkan polusi bagi masyarakat di sekitar perkebunan (Yeong, 1982; Medan Pos, 1998, Sriwijaya Post, 2004). Kandungan air yang cukup tinggi, merupakan salah satu faktor pembatas dalam penggunaan bahan ini karena membutuhkan upaya pengeringan. Faktor pembatas lain pengggunaan lumpur sawit sebagai bahan pakan unggas adalah tingginya kadar serat kasar (29,76%) dan kecernaan asam amino yang rendah (Hutagalung, 1978). Disamping itu, kandungan gizi lumpur sawit juga sangat bervariasi (Sinurat, 2003).
Besarnya variasi ini tergantung pada banyak hal, termasuk pada perbedaan proses pemisahannya dari minyak sawit. Meskipun demikian, beberapa penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan lumpur sawit sebagai bahan pakan unggas
Hasil penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak menunjukkan bahwa lumpur sawit kering dapat digunakan 5% didalam ransum ayam pedaging (Sinurat et al., 2000). Pemberian pada taraf yang lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan performan ayam (penurunan konsumsi ransum dan pertumbuhan yang lebih lambat). Penurunan performan ini terjadi karena semakin meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum dengan meningkatnya kadar lumpur sawit.
Penggunaan lumpur sawit kering dalam ransum ayam ras petelur hingga 20% tidak menyebabkan gangguan terhadap produksi telur, bobot telur, efisiensi penggunaan pakan dan kualitas ("HU") telur (Yeong dan Azizah 1987). Level ini dianggap cukup aman untuk diberikan pada ayam ras petelur, tetapi lumpur sawit yang digunakan mengandung serat kasar (16,8%) yang rendah dan protein (13,0 %) yang tinggi dibandingkan dengan kadar serat kasar dan protein lumpur sawit yang umum dilaporkan.
Di Nigeria, lumpur sawit juga digunakan untuk pakan ayam yang berkeliaran dengan saran penggunaan 10 - 30% dalam ransum (Sonaiya, 1995). Sebaliknya penelitian di dalam negeri (Karo-karo et al., 1994) menunjukkan bahwa pemberian lumpur sawit kering diatas 10% dalam ransum ayam buras periode pertumbuhan menyebabkan penurunan bobot badan dan konsumsi ransum. Sedangkan penggunaan lumpur sawit kering dalam ransum itik hingga 15 % tidak menimbulkan gangguan pertumbuhan, konsumsi ransum maupun persentase karkas (Sinurat et al., 2001a).
Dari berbagai uraian diatas disimpulkan bahwa lumpur sawit kering dapat digunakan dalam ransum ayam broiler 5%, ayam ras petelur 15 – 20%, ayam kampung 10% dan itik 15%. (Dari berbagai sumber)
0 comments:
Posting Komentar