Jakarta - Pemerintah siap memberikan insentif dan fasilitas yang diperlukan investor untuk mengembangkan industri kimia berbasis sumber daya terbarukan (biokimia) yang diperlukan Indonesia untuk melengkapi industri petrokimia yang kini sangat bergantung pada bahan baku impor.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan selama ini industri petrokimia banyak bergantung pada minyak dan gas sebagai bahan baku, seperti nafta dan kondensat.
Indonesia, tuturnya, kini masih harus mengimpor nafta, etilena, propilena, paraxylena, dan produk turunan lain seperti bahan bakar dalam jumlah besar yang bisa menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan industri di Tanah Air.
“Untuk impor nafta dan kondensat, dan produk petrokimia lainnya, Indonesia harus membayar US$200 juta per tahun untuk biaya transportasi. Itu belum termasuk dampak negatif lain, seperti fluktuasi harga yang terjadi di pasar internasional,” katanya hari ini.
Hidayat berpendapat, hambatan ketersediaan bahan baku yang terbatas membutuhkan alternative yang harus ditemukan dalam waktu segera. Salah satu dari alternative potensial untuk dikembangkan adalah sumber daya terbarukan, seperti crude palm oil (CPO), bunga matahari, rumput laut, dan algae untuk menciptakan produk-produk bahan baku biokimia.
“CPO bisa menjadi bahan pelengkap untuk menciptakan produk turunan yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri petrokimia, demikian juga dengan algae dan sumber daya terbarukan lainnya,” terangnya.
Menperin mengakui pengembangan biokimia di Indonesia masih membutuhkan pengelolaan yang serius karena hingga saat ini belum menjadi pilihan investor. Walaupun produsen utama CPO, Indonesia hingga kini masih minim untuk upaya pengembangan produk turunan CPO.
Padahal, katanya, pengembangan industri biokimia sudah dilakukan di India, yang justru merupakan pasar terbesar CPO Indonesia. India telah berhasil mengembangkan CPO menjadi bahan bakar dan bahan baku untuk industri kimia.
“Hal yang sama dilakukan China yang telah memproses CPO untuk biodiesel.”
Untuk itu, lanjut Hidayat, pemerintah meminta kalangan pakar untuk mengevaluasi kemungkinan konsep pengembangan biokimia di Tanah Air yang disesuaikan dengan realitas yang ada, termasuk pasar yang masih belum tercipta. Kemenperin, tuturnya, siap menfasilitasi investor yang berniat mengembangkan biokimia di Indonesia.
“Kalau mereka mau dan perlu investasi yang untuk itu meminta kemudahan, kami akan bicara. Kemenperin akan memperjuangkan ke Kementerian Koordinator Perekonomian kalau misalnya ada kebijakan khusus di bidang fiskal dan apapun untuk mendorong mereka menciptakan industri hilir,” jelasnya.
Dia mengatakan sejauh ini investor Eropa dan beberapa perusahaan lokal telah menyatakan minat untuk mengembangkan industri baru tersebut. Dari sisi pasar, Hidayat mengatakan produk-produk yang dihasilkan akan menjadi substitusi bahan baku petrokimia yang 63% di antaranya diperoleh melalui impor. “Saya menunggu konsep mereka untuk diperjuangkan di Menko.”
Dirjen Basis Industri Manufaktur Panggah Susanto mengatakan tren ke depan kombinasi antara sumber daya terbarukan akan semakin berkembang. Bahkan, dia memprediksikan perbandingan penggunaan sumber daya terbarukan dan tidak terbarukan (fosil) untuk bahan baku petrokimia akan seimbang.
“2050 proyeksinya antara renewable dan non renewable itu ditargetkan seluruh dunia 50%:50%. Jadi Indonesia yang sudah berkurang nonrenewable-nya mestinya masuk ke dalam tren dunia itu.”
Managing Director Federasi Industri Kimia Indonesia Ida Bagus Agra Kusuma mengatakan petrokimia berbasis bio merupakan hal baru di Indonesia yang bertujuan untuk menggantikan peran batu bara, gas, dan minyak bumi.
Dia mengungkapkan beberapa perusahaan lokal telah menyatakan minatnya untuk mengembangkan industri baru tersebut.
“Sinar Mas telah mempresentasikan rencana bisnisnya. Mereka sedang menyiapkan basis industri CPO-nya untuk dikembangkan menjadi beberapa produk bahan baku petrokimia, termasuk juga diantaranya biodiesel,” ujarnya.
Sumber: Bisnis.com/industri/manufaktur, 09 Maret 2011
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan selama ini industri petrokimia banyak bergantung pada minyak dan gas sebagai bahan baku, seperti nafta dan kondensat.
Indonesia, tuturnya, kini masih harus mengimpor nafta, etilena, propilena, paraxylena, dan produk turunan lain seperti bahan bakar dalam jumlah besar yang bisa menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan industri di Tanah Air.
“Untuk impor nafta dan kondensat, dan produk petrokimia lainnya, Indonesia harus membayar US$200 juta per tahun untuk biaya transportasi. Itu belum termasuk dampak negatif lain, seperti fluktuasi harga yang terjadi di pasar internasional,” katanya hari ini.
Hidayat berpendapat, hambatan ketersediaan bahan baku yang terbatas membutuhkan alternative yang harus ditemukan dalam waktu segera. Salah satu dari alternative potensial untuk dikembangkan adalah sumber daya terbarukan, seperti crude palm oil (CPO), bunga matahari, rumput laut, dan algae untuk menciptakan produk-produk bahan baku biokimia.
“CPO bisa menjadi bahan pelengkap untuk menciptakan produk turunan yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri petrokimia, demikian juga dengan algae dan sumber daya terbarukan lainnya,” terangnya.
Menperin mengakui pengembangan biokimia di Indonesia masih membutuhkan pengelolaan yang serius karena hingga saat ini belum menjadi pilihan investor. Walaupun produsen utama CPO, Indonesia hingga kini masih minim untuk upaya pengembangan produk turunan CPO.
Padahal, katanya, pengembangan industri biokimia sudah dilakukan di India, yang justru merupakan pasar terbesar CPO Indonesia. India telah berhasil mengembangkan CPO menjadi bahan bakar dan bahan baku untuk industri kimia.
“Hal yang sama dilakukan China yang telah memproses CPO untuk biodiesel.”
Untuk itu, lanjut Hidayat, pemerintah meminta kalangan pakar untuk mengevaluasi kemungkinan konsep pengembangan biokimia di Tanah Air yang disesuaikan dengan realitas yang ada, termasuk pasar yang masih belum tercipta. Kemenperin, tuturnya, siap menfasilitasi investor yang berniat mengembangkan biokimia di Indonesia.
“Kalau mereka mau dan perlu investasi yang untuk itu meminta kemudahan, kami akan bicara. Kemenperin akan memperjuangkan ke Kementerian Koordinator Perekonomian kalau misalnya ada kebijakan khusus di bidang fiskal dan apapun untuk mendorong mereka menciptakan industri hilir,” jelasnya.
Dia mengatakan sejauh ini investor Eropa dan beberapa perusahaan lokal telah menyatakan minat untuk mengembangkan industri baru tersebut. Dari sisi pasar, Hidayat mengatakan produk-produk yang dihasilkan akan menjadi substitusi bahan baku petrokimia yang 63% di antaranya diperoleh melalui impor. “Saya menunggu konsep mereka untuk diperjuangkan di Menko.”
Dirjen Basis Industri Manufaktur Panggah Susanto mengatakan tren ke depan kombinasi antara sumber daya terbarukan akan semakin berkembang. Bahkan, dia memprediksikan perbandingan penggunaan sumber daya terbarukan dan tidak terbarukan (fosil) untuk bahan baku petrokimia akan seimbang.
“2050 proyeksinya antara renewable dan non renewable itu ditargetkan seluruh dunia 50%:50%. Jadi Indonesia yang sudah berkurang nonrenewable-nya mestinya masuk ke dalam tren dunia itu.”
Managing Director Federasi Industri Kimia Indonesia Ida Bagus Agra Kusuma mengatakan petrokimia berbasis bio merupakan hal baru di Indonesia yang bertujuan untuk menggantikan peran batu bara, gas, dan minyak bumi.
Dia mengungkapkan beberapa perusahaan lokal telah menyatakan minatnya untuk mengembangkan industri baru tersebut.
“Sinar Mas telah mempresentasikan rencana bisnisnya. Mereka sedang menyiapkan basis industri CPO-nya untuk dikembangkan menjadi beberapa produk bahan baku petrokimia, termasuk juga diantaranya biodiesel,” ujarnya.
Sumber: Bisnis.com/industri/manufaktur, 09 Maret 2011
0 comments:
Posting Komentar