Jakarta - Pemerintah siap memberikan fasilitas yang diperlukan investor untuk mengembangkan industri kimia berbasis sumber daya terbarukan (biokimia) yang diperlukan Indonesia.
Industri itu untuk melengkapi industri petrokimia yang kini sangat bergantung pada bahan baku impor. Selama ini industri petrokimia banyak bergantung pada minyak dan gas sebagai bahan baku, seperti nafta dan kondensat.
"Indonesia, kini masih harus mengimpor nafta, etilena, propilena, paraxylena, dan produk turunan lain seperti bahan bakar dalam jumlah besar yang bisa menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan industri di Tanah Air. Untuk impor nafta dan kondensat, dan produk petrokimia lainnya, Indonesia harus membayar US$200 juta per tahun untuk biaya transportasi. Itu belum termasuk dampak negatif lain, seperti fluktuasi harga yang terjadi di pasar internasional," kata Menteri Perindustrian MS Hidayat di Jakarta, Rabu (9/3).
Menurutnya, hambatan ketersediaan bahan baku yang terbatas membutuhkan alternatif yang harus ditemukan dalam waktu segera. Salah satu dari alternatif potensial untuk dikembangkan adalah sumber daya terbarukan, seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), bunga matahari, rumput laut, dan algae (ganggang) untuk menciptakan produk-produk bahan baku biokimia.
"CPO bisa menjadi bahan pelengkap untuk menciptakan produk turunan yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri petrokimia, demikian juga dengan algae dan sumber daya terbarukan lainnya," terangnya.
Hidayat mengakui, pengembangan biokimia di Indonesia masih membutuhkan pengelolaan yang serius karena hingga saat ini belum menjadi pilihan investor. Walaupun produsen utama CPO, Indonesia hingga kini masih minim untuk upaya pengembangan produk turunan CPO.
Padahal, katanya, pengembangan industri biokimia sudah dilakukan di India, yang justru merupakan pasar terbesar CPO Indonesia. India telah berhasil mengembangkan CPO menjadi bahan bakar dan bahan baku untuk industri kimia. "Hal yang sama dilakukan China yang telah memproses CPO untuk biodiesel," Hidayat.
Sumber: Mediaindonesia.com, 09 Maret 2011
Industri itu untuk melengkapi industri petrokimia yang kini sangat bergantung pada bahan baku impor. Selama ini industri petrokimia banyak bergantung pada minyak dan gas sebagai bahan baku, seperti nafta dan kondensat.
"Indonesia, kini masih harus mengimpor nafta, etilena, propilena, paraxylena, dan produk turunan lain seperti bahan bakar dalam jumlah besar yang bisa menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan industri di Tanah Air. Untuk impor nafta dan kondensat, dan produk petrokimia lainnya, Indonesia harus membayar US$200 juta per tahun untuk biaya transportasi. Itu belum termasuk dampak negatif lain, seperti fluktuasi harga yang terjadi di pasar internasional," kata Menteri Perindustrian MS Hidayat di Jakarta, Rabu (9/3).
Menurutnya, hambatan ketersediaan bahan baku yang terbatas membutuhkan alternatif yang harus ditemukan dalam waktu segera. Salah satu dari alternatif potensial untuk dikembangkan adalah sumber daya terbarukan, seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), bunga matahari, rumput laut, dan algae (ganggang) untuk menciptakan produk-produk bahan baku biokimia.
"CPO bisa menjadi bahan pelengkap untuk menciptakan produk turunan yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri petrokimia, demikian juga dengan algae dan sumber daya terbarukan lainnya," terangnya.
Hidayat mengakui, pengembangan biokimia di Indonesia masih membutuhkan pengelolaan yang serius karena hingga saat ini belum menjadi pilihan investor. Walaupun produsen utama CPO, Indonesia hingga kini masih minim untuk upaya pengembangan produk turunan CPO.
Padahal, katanya, pengembangan industri biokimia sudah dilakukan di India, yang justru merupakan pasar terbesar CPO Indonesia. India telah berhasil mengembangkan CPO menjadi bahan bakar dan bahan baku untuk industri kimia. "Hal yang sama dilakukan China yang telah memproses CPO untuk biodiesel," Hidayat.
Sumber: Mediaindonesia.com, 09 Maret 2011
0 comments:
Posting Komentar