Revitalisasi Perkebunan rugikan petani
Posted byRevitalisasi Perkebunan rugikan petani
perkebunan kelapa sawitKEBIJAKAN pemerintah melalui revitalisasi perkebunan mendapat reaksi dari petani kelapa sawit. Sekitar 2,5 juta petani kelapa sawit di Indonesia akan menghadapi problem baru terkait dengan sistem pengelolaan kemitraan sesuai Surat Keputusan Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang program revitalisasi perkebunan.
Ketua Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit atau SPKS, Mansuetus Darto, mengatakan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (4/10), kebijakan itu dapat merugikan petani. Lewat surat keputusan itu, perkebunan rakyat yang bermitra dengan perusahaan, akan menerapkan pengelolaan satu manajemen.
Dalam manajemen tersebut, perusahaan bertindak sebagai pengelola dan petani menjadi buruh. Selanjutnya, penerima bagi hasil dengan petunjuk, perusahaan menggunakan dana hasil kredit petani, perusahaan yang membangun kebun, perusahaan yang merawat kebun, dan perusahaan yang memanen hasil produksi.
Problem tersebut telah melahirkan konflik antara petani dan perusahaan pada beberapa wilayah perkebunan sawit Sumatra dan Kalimantan. Selain itu, kemitraan tidak luput dari berbagai masalah, mulai dari transparansi kredit petani sampai penentuan harga yang tidak adil.
Seharusnya, model kerja sama antara petani dan perusahaan yang lebih setara menjadi lebih penting ketimbang mengabaikan potensi petani melalui pola satu manajemen. Kebijakan revitalisasi perkebunan itu tidak melihat potensi petani berkaitan dengan inisiatif, kemampuan mengelola kebun, dan tingkat produktivitas sesuai standar.
Padahal, persoalan kesenjangan produktivitas antara petani dan perusahaan terjadi akibat lemahnya perlindungan dan tanggung jawab pemerintah. Pengawasan praktik perkebunan yang baik dalam skema kemitraan rendah. Begitu pula, rendahnya akses petani terhadap sarana produksi, dukungan infrastruktur, dan kebijakan harga yang adil.
Dengan kata lain, kebijakan revitalisasi perkebunan telah meminggirkan posisi petani dalam pengelolaan kebun. Di samping itu, kebijakan revitalisasi semakin menjauhkan petani dari cita-cita untuk mandiri dan berdaya. Padahal, petani kelapa sawit mandiri telah memberikan kontribusi dalam peningkatan produksi nasional.
Pemerintah seyogianya menyiapkan desain bagi masa depan petani kelapa sawit Indonesia, terutama menyangkut proses transfer teknologi pertanian. Dengan demikian, setahap demi setahap, petani mampu memperkuat industri minyak sawit. Begitu pula, meminimalisasi konflik yang sering terjadi dalam perkebunan.
Kenyataan yang menimpa petani kelapa sawit lewat revitalisasi perkebunan, hendaknya mendapat perhatian serius. Jangan sampai kemitraan dengan pola satu manajemen, justru bakal mempengaruhi peningkatan produksi minyak sawit mentah. Persoalannya, espor minyak sawit mentah di tahun 2010 sedang mengalami peningkatan.
Pada Juli 2010, misalnya, ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya meningkat menjadi 1,19 juta ton. Bulan Juni, ekspor CPO hanya sebanyak 1,13 juta ton. Peningkatan dipicu oleh tambahan permintaan dari Bangladesh, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.
Meski kampanye negatif gencar dilakukan oleh sejumlah kalangan, ekspor CPO dan produk turunan Indonesia ke Eropa tetap stabil. Indonesia selaku produsen minyak sawit mentah terbesar, seharusnya berusaha menjadi penentu harga di dunia. Bukan sebaliknya, mengeluarkan kebijakan revitalisasi yang merugikan petani kelapa sawit. ***
081.625.2233 (SMS), tribuntimurcom@yahoo.com

0 comments:
Posting Komentar