JAKARTA. Investor Inggris memberikan sinyal positif terhadap penggunaan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai syarat ekspor kelapa sawit ke negara tersebut. Selama ini, Uni Eropa mempersyaratkan standar Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) pada ekspor kelapa sawit ke kawasan itu.
"Tanggapan mereka sangat positif," ujar Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami, Selasa (1/11).
Pemerintah pun telah meminta para investor Inggris menggelar kampanye positif tentang penerapan ISPO yang memiliki arah sejalan dengan standar internasional. Hanya, katanya, investor Inggris menginginkan adanya transparansi allocate forest area dan implementasi aturan ISPO itu.
"Mereka juga minta supaya terbuka dan transparan (soal akuntabilitas penerapan ISPO). Intinya, mereka setuju kita gunakan ISPO," tuturnya.
Selain soal ISPO, kedua belah pihak membicarakan isu tentang perbedaan kewajiban pajak (excise duty) untuk produk alkohol produk lokal dan impor. Para investor Inggris, tuturnya, merasa Indonesia memberikan perlakuan berbeda terhadap produk yang sama. Padahal, menurut Gusmardi, perbedaan hanya terjadi antara pajak, pungutan, dan bea cukai untuk produk lokal dan impor karena kualitas yang tidak sama.
"Mereka lebih mahal dan kita lebih murah. Tidak ada maksud untuk membedakan. Tidak ada maksud untuk tidak menerapkan national treatment principle," jelasnya.
Selain itu, investor Inggris pun meminta agar pemerintah Indonesia membebaskan 100% produk farmasi dari daftar negatif investasi (DNI). Saat ini, produk farmasi hanya dibuka 75%. Alasannya, karena farmasi merupakan perusahaan berbasis riset yang membutuhkan proteksi jangka panjang karena adanya hak atas kekayaan intelektual (intelectual property right/IPR).
"Targetnya sampai 15-20 tahun, karena ini long term investment makanya mereka minta 100% dan ini juga memberikan affordable price pada konsumen," paparnya.
Masalah lain yang juga dibahas antara lain soal sertifikat daging dan isu adanya kandungan kimia misalnya melamin pada furnitur. Inggris menginginkan adanya sertifikat yang menyatakan furnitur terbebas dari unsur melamin, tapi pelaku usaha Indonesia kesulitan melakukan hal itu karena alat pemeriksa hanya terdapat di Hongkong.
Indonesia sendiri belum bisa memiliki laboratorium pemeriksa kandungan kimia itu. Oleh karena itu, dia mengharapkan, Inggris bisa membantu pengembangan laboratorium untuk mendeteksi kandungan kimia tersebut. "Tindak lanjutnya mungkin akan dibahas pada pertemuan berikutnya tahun depan," ujarnya.(Ktn)
"Tanggapan mereka sangat positif," ujar Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami, Selasa (1/11).
Pemerintah pun telah meminta para investor Inggris menggelar kampanye positif tentang penerapan ISPO yang memiliki arah sejalan dengan standar internasional. Hanya, katanya, investor Inggris menginginkan adanya transparansi allocate forest area dan implementasi aturan ISPO itu.
"Mereka juga minta supaya terbuka dan transparan (soal akuntabilitas penerapan ISPO). Intinya, mereka setuju kita gunakan ISPO," tuturnya.
Selain soal ISPO, kedua belah pihak membicarakan isu tentang perbedaan kewajiban pajak (excise duty) untuk produk alkohol produk lokal dan impor. Para investor Inggris, tuturnya, merasa Indonesia memberikan perlakuan berbeda terhadap produk yang sama. Padahal, menurut Gusmardi, perbedaan hanya terjadi antara pajak, pungutan, dan bea cukai untuk produk lokal dan impor karena kualitas yang tidak sama.
"Mereka lebih mahal dan kita lebih murah. Tidak ada maksud untuk membedakan. Tidak ada maksud untuk tidak menerapkan national treatment principle," jelasnya.
Selain itu, investor Inggris pun meminta agar pemerintah Indonesia membebaskan 100% produk farmasi dari daftar negatif investasi (DNI). Saat ini, produk farmasi hanya dibuka 75%. Alasannya, karena farmasi merupakan perusahaan berbasis riset yang membutuhkan proteksi jangka panjang karena adanya hak atas kekayaan intelektual (intelectual property right/IPR).
"Targetnya sampai 15-20 tahun, karena ini long term investment makanya mereka minta 100% dan ini juga memberikan affordable price pada konsumen," paparnya.
Masalah lain yang juga dibahas antara lain soal sertifikat daging dan isu adanya kandungan kimia misalnya melamin pada furnitur. Inggris menginginkan adanya sertifikat yang menyatakan furnitur terbebas dari unsur melamin, tapi pelaku usaha Indonesia kesulitan melakukan hal itu karena alat pemeriksa hanya terdapat di Hongkong.
Indonesia sendiri belum bisa memiliki laboratorium pemeriksa kandungan kimia itu. Oleh karena itu, dia mengharapkan, Inggris bisa membantu pengembangan laboratorium untuk mendeteksi kandungan kimia tersebut. "Tindak lanjutnya mungkin akan dibahas pada pertemuan berikutnya tahun depan," ujarnya.(Ktn)
0 comments:
Posting Komentar