JAKARTA- Dirut PT Jamsostek Hotbonar Sinaga mengatakan, pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan tidak akan mengubah pengelolaan dana jaminan hari tua pekerja (JHT).
Hotbonar dalam siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Kamis, mengatakan,
kondisi itu terjamin jika tidak ada peleburan BUMN jaminan sosial yang ada saat ini atau perpindahan pengelolaan ke BPJS lain.Dia kembali mengatakan bahwa PT Jamsostek mendukung UU BPJS. "Sebagai operator kami siap melaksanakan amanat UU tersebut," kata Hotbonar.
Sementara di tempat berbeda kalangan buruh mempertanyakan rapat-rapat yang dilakukan tim dari DPR untuk menyinkronisasi bab, pasal, dan ayat dalam Undang-Undang tentang BPJS.
Mereka menilai proses pembahasan lanjutan UU BPJS yang telah disahkan pada Jumat (25/10) pekan lalu itu sudah melanggar prosedur dan mekanisme dalam pembuatan suatu undang-undang.
Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Bambang Wirahyoso mengatakan, pengesahan UU BPJS terkesan dipaksakan karena ada kepentingan di baliknya.
"Undang-undang ini sangat terang-benderang bukan untuk kepentingan rakyat dan buruh. Karena itu, kita tetap akan konsisten menolak UU BPJS yang sudah salah prosedural ini," kata Bambang.
SPN akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Tidak perlu bicara substansi, prosedurnya saja sudah salah dan dapat digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Bambang.
Menurut dia, pengesahan UU BPJS menjadi preseden buruk DPR terhadap rakyat Indonesia, salah satunya dengan cara tidak lazim dalam membuat suatu produk undang-undang.
SPN akan melakukan advokasi untuk penarikan dana JHT secara serentak bersama kawan kawan buruh yang lain. Tahapan awalnya pengambilan formulir, pengembalian, dan setelah itu penarikan dana JHT.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Sunarti mengatakan, sejak awal, proses pembahasan RUU BPJS sudah tidak jelas dan dipaksakan.
Menurut dia, jika UU itu untuk kepentingan rakyat, seharusnya dibahas secara sistematis dan mengakomodasi aspirasi rakyat.
"Kami bertanya apakah ini undang-undang titipan (pesanan) atau sudah teken kontrak atau kejar setoran, sehingga membuat seluruh anggota DPR berani melanggar prosedur dalam proses legislasi," kata Sunarti.
Dia mencatat sejumlah kejanggalan, di antaranya saat diketok di paripurna, tidak ada draf final, dan sampai sekarang masih dibahas di sebuah hotel.. "DPR seperti main-main dalam membuat undang-undang," ucapnya. (*/gor)/IDly
0 comments:
Posting Komentar