Jakarta -. Pemerintah akan menaikkan batas harga bawah pengenaan tarif bea keluar (BK) crude palm oil (CPO) menjadi US$ 750 per ton dari sebelumnya US$ 701 per ton.
Selain itu, pemerintah akan menurunkan batas atas tarif bea keluarnya menjadi di bawah 25% tetapi tidak melebihi di bawah 15%. Dengan kata lain batas atasnya berkisar antara 15%-25%.
Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menyatakan proses pembahasan penetapan tarif baru bea keluar atas ekspor CPO sudah selesai. Hasilnya yaitu batas harga bawah maupun batas atas tarif bea keluar disesuaikan guna menanggapi tingginya harga CPO di pasar dunia."Yang saya ingat (batas bawahnya jadi) US$ 750 per ton. Batas bawahnya tidak sampai 15%, pokoknya lebih kecil dari 25% (tarif bea keluar CPO saat ini)," ujarnya saat ditemui di DPR, Jakarta, Senin (18/7).
Sebagai informasi, sistem bea keluar ekspor CPO saat ini berlaku secara progresif, mengikuti pergerakan harga komoditas itu di pasar internasional. Ekspor sawit akan dikenakan bea keluar 0% jika rata-rata harga komoditas tersebut selama sebulan sebelumnya di CIF Rotterdam berada di bawah US$ 700 per ton, dan akan dikenakan tarif 1,5% saat harga rata-ratanya US$ 701-US$ 750 per ton. Sementara batas atas selama ini dikenakan ketika harga CPO dunia di atas US$ 1.251 per ton sebesar 25%.
Bambang menambahkan, meski bea keluar bukanlah instrumen penerimaan negara tetapi pemberlakuan bea keluar untuk komoditas strategis seperti CPO ini tetap diperlukan untuk menjaga agar kebutuhan dan pasokan di dalam negeri tidak terganggu. Dengan demikian diharapkan harga minyak goreng di Tanah Air tidak ikut berfluktuasi."Bea keluar itu awalnya bukan untuk penerimaan tapi efek samping, awalnya menjaga agar kebutuhan dalam negeri tidak terganggu, supaya harga minyak goreng tidak berfluktuasi," tegasnya.
Mengenai tuntutan para petani CPO agar bea keluar dihapuskan, Bambang menegaskan, pemerintah tidak dapat memenuhinya. Pasalnya, kebijakan tersebut justru akan membuat kegiatan ekspor CPO tidak bisa dikendalikan dan secara otomatis mengancam ketersediaan minyak goreng dalam negeri."Kalau (bea keluar) dihapus, semua orang ekspor dong nanti. Kalau semua orang ekspor, minyak goreng kita pakai apa bikinnya, pakai air? tidak bisa kan harus pakai CPO," tegasnya.
Bambang justru menduga tuntutan petani tersebut hanyalah permainan dari pengusaha yang merasa potensi keuntungannya berkurang karena tingginya bea keluar sehingga mereka tidak bisa melakukan ekspor. Intinya, sesuai dengan peraturan Menteri Pertanian, harga beli CPO mengikuti harga beli internasional sehingga tidak ada urusan dengan kebijakan bea keluar saat ini."Petani itu dipergunakan pengusaha, padahal ada peraturan Mentan yang menjelaskan bahwa harga beli mengikuti harga beli internasional. Jadi tidak ada urusannya dengan bea keluar atau tidak. Petani tidak akan terganggu, pengusahanya juga harusnya tidak terganggu. Karena itu masalahnya hanya yang tadinya untungnya lebih besar, jadi lebih kecil," pungkasnya. (dtf)/MB
Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menyatakan proses pembahasan penetapan tarif baru bea keluar atas ekspor CPO sudah selesai. Hasilnya yaitu batas harga bawah maupun batas atas tarif bea keluar disesuaikan guna menanggapi tingginya harga CPO di pasar dunia."Yang saya ingat (batas bawahnya jadi) US$ 750 per ton. Batas bawahnya tidak sampai 15%, pokoknya lebih kecil dari 25% (tarif bea keluar CPO saat ini)," ujarnya saat ditemui di DPR, Jakarta, Senin (18/7).
Sebagai informasi, sistem bea keluar ekspor CPO saat ini berlaku secara progresif, mengikuti pergerakan harga komoditas itu di pasar internasional. Ekspor sawit akan dikenakan bea keluar 0% jika rata-rata harga komoditas tersebut selama sebulan sebelumnya di CIF Rotterdam berada di bawah US$ 700 per ton, dan akan dikenakan tarif 1,5% saat harga rata-ratanya US$ 701-US$ 750 per ton. Sementara batas atas selama ini dikenakan ketika harga CPO dunia di atas US$ 1.251 per ton sebesar 25%.
Bambang menambahkan, meski bea keluar bukanlah instrumen penerimaan negara tetapi pemberlakuan bea keluar untuk komoditas strategis seperti CPO ini tetap diperlukan untuk menjaga agar kebutuhan dan pasokan di dalam negeri tidak terganggu. Dengan demikian diharapkan harga minyak goreng di Tanah Air tidak ikut berfluktuasi."Bea keluar itu awalnya bukan untuk penerimaan tapi efek samping, awalnya menjaga agar kebutuhan dalam negeri tidak terganggu, supaya harga minyak goreng tidak berfluktuasi," tegasnya.
Mengenai tuntutan para petani CPO agar bea keluar dihapuskan, Bambang menegaskan, pemerintah tidak dapat memenuhinya. Pasalnya, kebijakan tersebut justru akan membuat kegiatan ekspor CPO tidak bisa dikendalikan dan secara otomatis mengancam ketersediaan minyak goreng dalam negeri."Kalau (bea keluar) dihapus, semua orang ekspor dong nanti. Kalau semua orang ekspor, minyak goreng kita pakai apa bikinnya, pakai air? tidak bisa kan harus pakai CPO," tegasnya.
Bambang justru menduga tuntutan petani tersebut hanyalah permainan dari pengusaha yang merasa potensi keuntungannya berkurang karena tingginya bea keluar sehingga mereka tidak bisa melakukan ekspor. Intinya, sesuai dengan peraturan Menteri Pertanian, harga beli CPO mengikuti harga beli internasional sehingga tidak ada urusan dengan kebijakan bea keluar saat ini."Petani itu dipergunakan pengusaha, padahal ada peraturan Mentan yang menjelaskan bahwa harga beli mengikuti harga beli internasional. Jadi tidak ada urusannya dengan bea keluar atau tidak. Petani tidak akan terganggu, pengusahanya juga harusnya tidak terganggu. Karena itu masalahnya hanya yang tadinya untungnya lebih besar, jadi lebih kecil," pungkasnya. (dtf)/MB
0 comments:
Posting Komentar