Jakarta. Ekonom Faisal Basri menyarankan pemerintah memperbanyak insentif untuk mendorong perkembangan industri hilir minyak kelapa sawit di dalam negeri.
"Tiru dong Malaysia, banyak sekali paket insentif yang disediakan. Di sana petani dan industri dibanjiri insentif. Pemerintah seharusnya memberikan bantuan seperti itu untuk mendorong perkembangan industri sawit dalam negeri," katanya dalam forum diskusi tentang bea keluar minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di Jakarta, Rabu (11/5).
Menurut dia, pemerintah Malaysia memberikan banyak paket insentif untuk berbagai kegiatan industri sawit, termasuk di antaranya dalam pembangunan proyek industri, riset dan pengembangan, pelatihan, investasi, serta promosi ekspor.
Pemberian aneka paket insentif bagi petani dan pelaku industri kelapa sawit, kata dia, membuat industri hilir sawit di negeri jiran berkembang pesat sehingga produk turunan sawit bernilai tambah tinggi mendominasi komposisi ekspor produk sawit negara itu.
"Sebanyak 85 persen ekspor minyak sawit Malaysia berupa produk olahan, tidak seperti di sini," katanya.
Faisal mengatakan, meski ekspor minyak sawit Indonesia meningkat pesat, namun industri proses pengolahan cenderung tidak berkembang. Ekspor minyak sawit Indonesia pun sebagian besar masih berupa produk mentah.
Sebanyak 62,4 persen minyak sawit Indonesia, menurut dia, diekspor dalam bentuk CPO atau "Crude Olein" atau "Crude stearin."
Di samping memperbanyak paket insentif, kata Faisal, pemerintah juga harus meninjau ulang kebijakan yang justru menghambat kegiatan usaha dan industri seperti aturan pengenaan dan penetapan tarif bea keluar sawit yang sampai sekarang diterapkan.
"Karena itu malah menghambat perkembangan industri. Efeknya ke penerimaan negara juga tidak signifikan," katanya.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Saleh, mengatakan pemerintah saat ini sedang memperbaiki struktur bea keluar CPO dan produk turunannya.
"Instrumen kebijakan bea keluar sampai saat ini dirasakan efektif, namun tetap dilakukan evaluasi kebijakan dari segi penerapan harga batas bawah dan struktur tarifnya sehingga dapat mendukung hilirisasi komoditi kelapa sawit," katanya.
Pemerintah, kata dia, sedang melakukan pembahasan akhir pada revisi peraturan tentang penetapan dan pengenaan bea keluar serta berencana merampungkannya dalam waktu dekat.
"Sore nanti kami harap bisa dibahas dan diputuskan dalam rapat Kementerian Koordinator Perekonomian. Kalau sudah disepakati dan peraturannya terbit mudah-mudahan bulan depan sudah bisa berlaku," katanya. Kalaupun revisi masih menyisakan masalah bagi pengusaha dan petani, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN), Aviliani, mengatakan, kebijakan itu masih bisa diperbaiki lagi.
"Sawit termasuk komoditas utama yang perkembangannya menjadi prioritas dalam 'masterplan' percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Jadi kalau masih ada kebijakan yang menghambat akan dievaluasi dan diperbaiki," katanya.
Indonesia saat ini merupakan negara produsen dan pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Produksi minyak kelapa sawit Indonesia selama tahun 2009 mencapai 23,19 juta ton dan diperkirakan meningkat hingga 25 juta ton pada 2010.(ant)
0 comments:
Posting Komentar