RSS Feed

Persoalan buruh

Posted by Flora Sawita


Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sering kali di jadikan sebagai sarana pembukaan lapangan pekerjaan. Dapat di akui bahwa sekitar 3 juta penduduk Indonesia bekerja di kebun kelapa sawit. mereka menjadi bagian dari peningkatan produksi CPO di dalam negri. Industri perkebunan kelapa sawit, harus melihat mereka sebagai bagian yang terpenting dari lajunya pertumbuhan ekonomi dalam negri khususnya optimalisasi produksi CPO Indonesia yang telah menjadi nomor satu di dunia.

Proses perekrutan buruh

Buruh di perkebunan kelapa sawit terdapat dua jenis yakni buruh tetap dan buruh harian lepas. Buruh tetap adalah buruh yang terikat hubungannya dengan perusahaan dan proses perekrutannya sangat jelas. Dalam proses layanan pun, perusahaan lebih memfokuskan melayani buruh tetap.

Dalam proses perekrutan buruh harian lepas tidak dilakukan secara formal namun di carikan oleh mandor kebun. Ketentuan pekerjaan dan informasi terkait dengan upah pun tidak terdapat relasi khusus dengan perusahaan namun dari mandor yang akan memimpin/ dan mengarahkan buruh ketika di saat kerja. Sementara buruh tetap, dilakukan secara formal dan berhubungan langsung dengan perusahaan. Misalnya melalui persyaratan lamaran pekerjaan dan melakukan wawancara. Biasanya, perusahaan menggunakan persyaratan pengalaman dan pendidikan dan bahkan terkadang karena hubungan kekerabatan dengan karyawan yang terlebih dahulu bekerja.


Kebijakan pemerintah tentang BHL dan buruh SKUPT
Praktek kerja (BHL) diperkebunan sudah berakar jauh sebelum UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan diberlakukan di Indonesia. Praktek hubungan kerja majikan-buruh ini telah berlangsung sejak jamam kolonialisme. Kebijakan kolonialisme waktu itu terutama di perkebunan lebih berpihak pada modal seperti konsesi tanah murah, pengakuan kepemilikan tanah bagi pengusaha asing dan legitimasi hubungan kerja bebasis melalui kebijakan perburuhan lebih ditujukan menjerat buruh menjadi abdi tuan Kebun (perbudakan). Akibat kuatnya wacana kolonialis kemudian terinternalisasi kedalam struktur hubungan industrial perkebunan.

Namun penting diingatkan kembali bahwa setelah Indonesia merdeka, para pejuang pendiri Bangsa ini sadar betul hubungan kerja eksploitatif bercorak liberalisme tadi harus dihapuskan. Itulah yang mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengenai "pekerjaan" dan "penghidupan yang layak" dan terkait amat erat dengan pasal 28 mengenai hak untuk berorganisasi dan berkumpul sebagai dasar konstitusional perburuhan kita (Putusan Mahkamah Konstitusi, 2003).

Beberapa tahun kemudian secara konsisten pemerintah kita waktu itu memperjuangkan hubungan kerja majikan-buruh bersifat kolektif berbasis kesejahteraan. Setidaknya tiga buah undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang oleh banyak ahli dikatakan sebagai salah satu undang-undang yang paling progresif dan protektif terhadap buruh/pekerja pada masanya dan jauh lebih bagus dari UU No 13 kita saat ini.

Dalam perkembangan peraturan pemerintah tentang buruh pada tahun 2000 terdapat kebijakan tentang serikat pekerja yakni UU No. 21 Tahun 2000 dan pada tahun 2004 pemerintah kembali mengeluarkan UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial bersamaan dengan UU No 18 tentang perkebunan. Namun dari seluruh peraturan tersebut, tidak terdapat perubahan di sector kehidupan dan nasib buruh di masa mendatang yang lebih sejahtera.

Persoalan buruh

Persoalan yang paling penting di sector buruh adalah masalah layanan dari pihak perusahaan. Masalah layanan ini mencakup semua hal mulai perlakuan terhap buruh dengan upah, jaminan kesehatan, layanan perumahan, layanan sosial dan layanan untuk jaminan hidup ke depan. Perlu di ingat bahwa, buruh tidak memiliki alat produksi seperti kebun kelapa sawit seperti yang di miliki oleh petani sawit. buruh kebun, menjual tenaga kerjanya untuk memperoleh upah dan jaminan hari tua.

Pertama; Upah yang di peroleh buruh sangat tidak sesuai dengan kondisi ekonomi makro yang sedang berkembang saat ini, di mana harga bahan pokok dan seluruh fasilitas yang ada tidak sesuai dengan upah yang diperoleh petani. Belum lagi jika, memiliki anak yang sekolah di perguruan tinggi. Upah yang diperoleh buruh, bahkan tidak sesuai dengan UMP (upah Minimum provinsi). Bahkan perusahaan memiliki aturan sendiri untuk menentukan upah tersebut untuk buruh. Untuk buruh harian tetap, biasanya di peroleh pada akhir bulan dengan upah sebesar UMP 2009 Rp. 930.680 dan di tambah dengan beras 5 kg. sementara untuk buruh harian lepas, mereka memperoleh upah harian sebesar 600 -700 ribu rupiah. Upah buruan harian lepas biasanya di peroleh setiap minggu karena upah yang diberikan adalah upah harian. Sementara tunjangan untuk BHL tidak ada. Dalam pengupahan ini juga memberlakukan system borongan. Jika borongan tidak dapat di penuhi oleh buruh, maka perusahaan dapat melakukan secara sepihak memotong upah buruh.

Kedua; perusahaan tidak memberikan layanan kesehatan bagi buruh harian lepas. Di masing-masing perusahaan memang di sediakan klinik khusus untuk buruh, namun yang memiliki akses dalam klinik tersebut adalah buruh tetap dan karyawan perusahaan. Buruh harian lepas khususnya yang melakukan penyemprotan, sebenarnya harus memberikan layanan penuh karena buruh penyemprot memiliki resiko pekerjaan yang sangat tinggi karena bersentuhan langsung dengan pestisida. BHL harus berusaha sendiri mencari layanan kesehatan dan di biayai sendiri jika sakit/kecelakaan di saat kerja.

Layanan yang semestinya di berikan perusahaan kepada buruh adalah Rumah, Listrik, Air, Kesehatan, Fasilitas Kerohanian, Sekolah dan lain-lain. Jika layanan tersebut tidak di sediakan perusahaan maka buruh berusaha sendiri untuk mendapatkan fasilitas tersebut tanpa bantuan dari pihak perusahaan.

Ketiga; System kerja yang dilakukan buruh adalah berhubungan dengan mandor kebun sebagai pimpinan dan pengawasa di lapangan di saat buruh bekerja. Dalam system kerjanya menggunakan 2 sistem yakni system waktu kerja yakni selama 7 jam kerja dan system borongan. Selama 7 jam kerja, buruh di berikan patokan untuk menyelesaikan pekerjaannya yang telah di tentukan oleh perusahaan. Walaupun jamb kerja selama 7 jam sudah selesai namun jika borongan tersebut belum selesai maka buruh belum di perkenankan untuk kembali kerumahnya. System kerja ini pun di tentukan oleh perusahaan tanpa melibatkan buruh dalam merumuskan kerja. Yang paling memprihatinkan adalah jika borongan tersebut belum selesai atau tidak dapat di penuhi oleh buruh walaupun telah bekerja selama 7 jam maka perusahaan akan menjatuhkan hukuman berupa potongan upah.

Keempat; Hubungan kerja. Dalam hubungan kerja buruh tidak terdapat perbedaan golongan antara buruh yang telah lama bekerja dan yang baru bekerja. Begitupun dalam hal gaji. Tidak ada perbedaan gaji antara buruh yang telah bekerja lama dan yang baru. terkait dengan status buruh harian lepas, tidak memiliki informasi yang diberikan perusahaan untuk menjadi buruh tetap. nasib Buruh BHL terus terkatung-katung nasibnya hingga saat ini karena statusnya yang tidak di perjelas oleh perusahaan.

Kelima; fasilitas kerja terkadang di persiapkan oleh perusahaan karena terkadang fasilitas yang disediakan oleh perusahaan sangat terbatas. Namun buruh BHL, menyediakan fasilitas kerja sendiri tanpa di berikan imbalan oleh perusahaan. terkait dengan fasilitas transportasi khususnya pengangkutan buruh untuk bekerja dan pulang setelah kerja di sediakan oleh perusahaan walaupun kondisinya kurang baik.

Keenam; Minimnya perlindungan pemerintah khususnya disnaker dalam persoalan perselisihan hubungan kerja. Disnaker tidak memiliki upaya yang progresif dalam menyelesaikan persoalan buruh. Bahkan buruh, seringkali menilai bahwa disnaker sebagai bagian dari perusahaan perkebunan karena tidak mampu menyelesaikan persoalan dengan perusahaan.

Solusi bagi penyelesaian persoalan kesejahteraan buruh.
Untuk penyelesaian kesejahteraan buruh perlu dilakukan dalam dua tahap yakni tahap minimal dan tahap maksimal. Yang paling minimal dalam mengupayakan kesejahteraan buruh adalah memperbaiki seluruh layanan yang diberikan oleh perusahaan dalam hal layanan kesehatan, layanan perumahan, perbaikan dalam system kerja yang saling menguntungkan terutama penghapusan system borongan, waktu kerja yang lebih berdasarkan prinsip saling menghargai dan saling menghormati. Selain itu juga, perusahaan perkebunan perlu kembali menghapus system Buruh Harian Lepas dan dapat merubah statusnya menjadi buruh tetap. selain itu, perlu adanya perhormatan terhadap status buruh yang telah bekerja lama dengan menjadi sebagai karyawan perusahaan atau menduduki struktur dalam perusahaan.

Di level pemerintah perlu kembali meninjau upah tentang buruh yang sesuai dengan standar kehidupan yang makro di Indonesia. Selain itu, komposisi dalam dewan pengupahan perlu terdapat representasi dari kelompok buruh. Pemerintah juga perlu lebih progresif dalam menyelesaikan perselisihan dalam hubungan industrial dan perlu merumuskan kebijakan yang berpihak pada buruh perkebunan.

Standar yang maksimal adalah persoalan jaminan masa mendatang untuk dapat menghidupi keluarganya buruh yang lebih permanen dengan memiliki alat produksi sendiri. Buruh harus di berikan penghormatan tersendiri dengan diberikan kebun sawit kepada buruh baik dari pemerintah maupun dari perusahaan. karena buruh tidak memiliki alat produksinya dan hanya mengandalkan tenaganya. Dan jika sudah masa tua, maka tidak ada penghasilan atas pekerjaanya sebagai buruh karena tidak dapat bekerja lagi.

0 comments:

Posting Komentar

Label

2011 News Africa AGRIBISNIS Agriculture Business Agriculture Land APINDO Argentina Australia Bangladesh benih bermutu benih kakao benih kelapa benih palsu benih sawit benih sawit unggul Berita Berita Detikcom Berita Info Jambi Berita Kompas Berita Padang Ekspres Berita Riau Pos Berita riau terkini Berita Riau Today Berita Tempo bibit sawit unggul Biodiesel biofuel biogas budidaya sawit Bursa Malaysia Cattle and Livestock China Cocoa Company Profile Corn corporation Cotton CPO Tender Summary Crude Palm Oil (CPO) and Palm Kernel Oil (PKO) Dairy Dairy Products Edible Oil Euorope European Union (EU) FDA and USDA Fertilizer Flood Food Inflation Food Security Fruit Futures Futures Cocoa and Coffee Futures Edible Oil Futures Soybeans Futures Wheat Grain HUKUM India Indonesia Info Sawit Investasi Invitation Jarak pagar Kakao Kapas Karet Kebun Sawit BUMN Kebun Sawit Swasta Kelapa sawit Kopi Law Lowongan Kerja Malaysia Meat MPOB News Nilam Oil Palm Oil Palm - Elaeis guineensis Pakistan palm oil Palm Oil News Panduan Pabrik Kelapa Sawit pembelian benih sawit Penawaran menarik PENGUPAHAN perburuhan PERDA pertanian Pesticide and Herbicide Poultry REGULASI Rice RSPO SAWIT Serba-serbi South America soybean Tebu Technical Comment (CBOT Soyoil) Technical Comment (DJI) Technical Comment (FCPO) Technical Comment (FKLI) Technical Comment (KLSE) Technical Comment (NYMEX Crude) Technical Comment (SSE) Technical Comment (USD/MYR) Teknik Kimia Thailand Trader's Event Trader's highlight Ukraine umum USA Usaha benih varietas unggul Vietnam Wheat