RSS Feed

Menjual Kebun, Menuai Sengketa

Posted by Flora Sawita Labels: ,

Tidak seperti penjualan beberapa aset yang dikuasai BPPN lainnya, penjualan perkebunan seluas 262.653 hektar itu menimbulkan reaksi keras di masyarakat, khususnya masyarakat Riau yang dengan terang-terangan meminta agar penjualan dibatalkan.Masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Sari Pingau Riau, Kelompok Tani Sawit anggota Seksi Riau, serta Kelompok Tani yang tergabung dalam koperasi, antara lain Karya Maritim, Riau Bertuah, dan Gema Bunut Riau, sangat menyesalkan pengalihan kepemilikan perkebunan eks milik Salim itu kepada perusahaan Malaysia.
Menurut masyarakat, pengalihan kepemilikan tidak seharusnya dilakukan begitu saja tanpa mengikutsertakan mereka dalam pengambilan keputusan. Sebab, perkebunan yang dikuasai oleh Grup Salim masih dalam sengketa dengan masyarakat setempat.
Tidak hanya itu, kekhawatiran terhadap pengalihan kepemilikan perkebunan kepada perusahaan asing juga terlontar dari Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Agus Pakpahan. Sebab perkebunan, yang notabene aset utamanya adalah tanah, tidak hanya memiliki fungsi ekonomi, tapi juga ekologi dan sosial. "Kalau dimiliki oleh asing, bagaimana kita dapat melakukan kontrol agar fungsi sosial dari tanah di mana perkebunan itu berada tetap dapat dilaksanakan," katanya.
Apalagi, menurut Presidium Uni Sosial Demokrat Bambang Warih Koesoema, proses pengembangan perkebunan-perkebunan besar kelapa sawit di masa lalu banyak memperkosa rasa keadilan rakyat. Selain pemberian berbagai fasilitas kepada para pengusaha perkebunan itu. "Kami setuju dilakukan pengambilalihan aset tersebut dari tangan konglomerat untuk diabdikan bagi kepentingan nasional dan rakyat banyak, tapi tidak dengan menjualnya ke Malaysia," kata Bambang. Dia telah menulis surat kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sehubungan dengan rencana penjualan aset-aset "pasien" BPPN.
Pemberian fasilitas yang melimpah ruah kepada para pengusaha perkebunan besar itu diakui oleh Pakpahan. Pemerintahan rezim Orde Baru pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an mencanangkan program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN). Melalui program ini pemerintah memberi berbagai kemudahan dan fasilitas kepada pengusaha untuk membangun perkebunan kelapa sawit.
Kemudahan itu antara lain dengan memberi bunga hanya 10 persen terhadap kredit perbankan untuk membuka perkebunan kelapa sawit, jauh lebih rendah dari bunga yang berlaku saat itu. Selain kemudahan dalam pembebasan tanah, pemberian hak guna usaha, dan sebagainya.
"Jadi berhasilnya Salim mengembangkan perkebunan kelapa sawit bukan semata-mata karena kepiawaian manajemennya. Tapi ada elemen masyarakat didalamnya, yaitu berupa subsidi bunga yang dinikmati oleh Salim," kata Pakpahan.
Dari sisi target, program PBSN yang dicanangkan oleh pemerintah berhasil. Data yang diolah dari Ditjen Perkebunan menunjukkan, dari tahun ke tahun mulai 1990 hingga 1998, terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit. Jika pada tahun 1990 luas perkebunan besar swasta (PBS) hanya 463.093 hektar, maka tahun 1998 mencapai 1.276.214 hektar.
Peningkatan juga terjadi pada areal perkebunan besar nasional (PBN), tahun 1990 hanya 372.246 hektar, tahun 1998 menjadi 476.645 hektar. Sementara perkebunan rakyat meningkat sekitar tiga kali lipatnya, yaitu dari 291.338 hektar pada tahun 1990 menjadi 881.040 hektar pada tahun 1998. Dari perkembangan itu, total luas areal perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia mencapai 2.633.899 hektar, dari 1.126.677 hektar pada tahun 1990.
Keberhasilan mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit tersebut harus dibayar dengan berbagai persoalan, baik persoalan sosial maupun ekologi. Berbagai sengketa tanah antara masyarakat setempat dengan pengusaha muncul seiring dengan pembukaan beberapa areal perkebunan besar. Seiring dengan bergulirnya reformasi, sengketa yang tadinya dapat "diredam" dengan "membungkam" masyarakat, kini mencuat lagi. Ini antara lain tampak dari gugatan masyarakat Riau.
Di sisi lain, persoalan ekologi sebagai dampak dari keinginan menggebu untuk mengembangkan perkebunan besar, juga tidak kalah seriusnya. Sebagian besar areal perkebunan besar tersebut adalah konversi dari areal hutan yang telah habis dieksploitasi oleh para pemegang HPH (hak pengusahaan hutan). Hutan-hutan tersebut tidak lagi direboisasi untuk dikembalikan ke kondisi asalnya, tapi dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Dari perhitungan ekonomis pilihan itu tampak logis. Jika "dihutankan" kembali, setidaknya 30 tahun lagi baru dapat dilakukan penebangan untuk mendapat hasilnya. Tetapi, dengan mengon-versinya menjadi perkebunan kelapa sawit, maka tujuh tahun setelah penanaman sudah dapat dipetik keuntungannya.
Pemikiran seperti itu yang membuat setiap tahun dilakukan konversi areal hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, tanpa memperhitungkan dampak ekologinya. Data yang dipaparkan oleh Eric Wakker dalam Inside Indonesia No 58 edisi April/Juni 1999, menyebutkan, pada tahun 1990 seluas 150.000 hektar areal hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya, setiap tahun tidak kurang dari 100.000 hektar dikonversi, bahkan tahun 1995, 1996, dan 1997 dilakukan konversi rata-rata 225.000 hektar.
Penghentian konversi areal hutan menjadi perkebunan baru terjadi pada tahun 2000 ini. Itupun karena harus memenuhi komitmen yang sudah dibuat dengan Consultative Group on Indonesia (CGI). Dari delapan komitmen yang harus dipenuhi untuk sektor kehutanan, salah satunya adalah melakukan moratorium konversi terhadap hutan.
Sebelumnya, di era kepemimpinan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution, WWF (Worldwide Fund for Na-ture) dan beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat) lingkungan lainnya meminta agar rawa dan hutan pasang surut Se-buku Sembakung Kalimantan Timur tidak dikonversi menjadi perkebunan.
Imbauan itu dipenuhi, Nasu-tion memutuskan untuk membatalkan sembilan izin konsesi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur, yang 100.000 hektar di antaranya termasuk kawasan taman nasional. Empat dari sembilan izin yang dibatalkan itu adalah milik Grup Salim, yang konsesinya didapat di era mantan Presiden Soeharto.
***
PERTUMBUHAN komoditas kelapa sawit bukan hanya dalam ekspansi areal perkebunannya, tetapi juga produk minyak yang dihasilkannya. Dalam dua dekade terakhir ini subsektor kelapa sawit adalah yag tercepat pertumbuhannya, di mana produk minyak sawit mentah (CPO/ crude palm oil) meningkat dari 2,7 juta ton pada tahun 1991 menjadi 5,9 juta ton di tahun 1999. Pada tahun 2000 ini diperkirakan produk CPO Indonesia mencapai 6,5 juta ton.
Pada tahun-tahun mendatang, diprediksi produksi akan terus meningkat seiring dengan tingkat kematangan pohon kelapa sawit di perkebunan-perkebunan besar. Dari jumlah produksi itu, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara pengekspor CPO dunia.
Urutan pertama diduduki oleh Malaysia, yang memasok 50,3 persen kebutuhan dunia atau sekitar 8.850.000 ton. Sementara ekspor Indonesia mencapai 30,5 persen dari kebutuhan dunia atau sekitar 5.360.000 ton. Sisanya, sekitar 19,2 persen atau 3.377.000 ton dipasok oleh negara-negara lain, seperti Thailand, dan beberapa negara Afrika.
Para analis dunia memperkirakan dengan terbukanya peluang untuk melakukan ekstensifikasi, dengan perencanaan yang matang, manajemen yang baik, sungguh-sungguh dan konsisten, maka tahun 2010 bukan tidak mungkin Indonesia mengambil alih posisi Malaysia sebagai negara penghasil CPO terbesar.
Apalagi, selain lahan, Indo-nesia memiliki keunggulan komparatif berupa melimpahnya tenaga kerja. Budidaya kelapa sawit sangatlah padat karya. Meski memiliki keunggulan teknologi, untuk melakukan ekspansi lebih lanjut Malaysia terhadang faktor ketersediaan lahan dan tenaga kerja.
Namun, sejak dua tahun terakhir, Malaysia telah mencanangkan kelapa sawit sebagai komoditi ekonomi unggulannya. Untuk mewujudkan tekad itu, sebagian areal perkebunan karetnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Investasi besar-besaran dilakukan untuk memperluas skala usaha perkebunan kelapa sawitnya. Bahkan dicanangkan, bila perlu dengan melakukan ekspansi ke Indonesia, seperti dilaporkan oleh SCB Research Institute Thailand dalam analisis Economic Situation, Mei 2000.
Jalan ekspansi itu kini terbuka, tidak hanya untuk perkebunan kelapa sawit, tapi juga untuk pengembangan industri turunannya seperti oil & fat. Bambang Warih mencermati arah dari kebijakan melakukan ekspansi itu adalah untuk mengonsolidasikan aset-aset tersebut ke dalam satu tangan pengaruh kebijakan dengan bisnis serupa di Malaysia.
Dengan membeli eks milik perkebunan Grup Salim, Guthrie telah melampaui hambatan penguasaan lahan lebih dari 100.000 hektar untuk seluruh wilayah Indonesia. Sebab berdasarkan Keputusan Presiden No 107/Kpts-11/1999 tertanggal 3 Maret 1999, ditetapkan seluruh HGU (Hak Guna Usaha) baru tidak boleh lebih dari 20.000 hektar di satu propinsi, dan 100.000 hektar untuk seluruh wilayah Indonesia. Peraturan ini menjadi hambatan bagi investor baru yang mencari konsesi baru yang sangat luas bagi perkebunan.
Bambang menjelaskan, untuk dapat menguasai aset-aset strategis, modus operandi yang dilakukan adalah dengan membentuk investor connection (jaringan investor. Jaringan itu diberi peran untuk menawar dan melakukan pembelian atas aset-aset seperti Holdiko Perkasa, Kiani Wirudha, Tunas Sepadan, Bentala Kartika Abadi, Cakrawala Gita, dengan sistem paket dengan harapan agar dapat harga murah.
"BPPN sendiri sedang dalam keadaan yang kondusif untuk menerima system deal seperti itu. Setelah seluruh aset secara paket pindah tangan kepada investor connection, maka muncul lah natural interest (kepentingan aslinya -Red) serta pembeli yang sebenarnya," kata Bambang Warih, yang mantan anggota DPR.
Pada akhirnya, lanjut Bambang, seluruh aset akan dijual kembali kepada publik, kecuali aset bisnis yang memiliki kaitan dengan bisnis kelapa sawit, sebab akan disertakan dalam kebijakan manajemen politik pemerintah Malaysia.
Dalam jangka panjang, kebijakan ini akan membuat peta pasokan CPO akan bergeser, Malaysia akan menguasai 89 persen kebijakan CPO dunia. Meski, secara realitas di masa datang Indonesia akan menjadi pemasok terbesar CPO dunia, yaitu sekitar 50 persen.
Kekhawatiran yang dilontarkan Bambang tidak hanya itu, tapi juga pada dampak ikutannya. Yaitu, dalam jangka panjang konsentrasi industri hilir dari perkebunan kelapa sawit yang jumlahnya bisa mencapai 200 jenis dengan nilai tambah yang sangat besar, akan berpindah ke Malaysia. "Dan posisi Indonesia hanya akan menjadi pemasok bahan baku. Kalaupun ada nilai tambah sifatnya hanya komplemen terhadap kebijakan negara Malaysia," ungkapnya.
Oleh karena itu, melalui suratnya kepada Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri tertanggal 2 Oktober 2000, jauh sebelum BPPN mengumumkan pemenang tender penjualan perkebunan kelapa sawit eks milik Grup Salim, Bambang Warih mengusulkan, segera dilakukan langkah pencegahan.
"Bila BPPN tidak mendapat mitra swasta yang dapat memperkuat posisi Indonesia dalam membeli aset BPPN itu, sebaiknya konsorsium BUMN yang sehat dapat sementara memiliki aset tersebut. Dengan demikian kita masih dapat bernafas dan berharap mendapat peluang melindungi kepentingan rakyat Indonesia di masa depan, dan masih memberikan waktu luang untuk mencarikan jalan keluarnya," saran Bambang Warih Koesoema. Komoditi kelapa sawit beserta produk turunannya adalah satu di antara sedikit komoditi yang tangguh, yang dapat bertahan selama negeri ini mengalami krisis. Bahkan, dari industri minyak sawit ini Indonesia memperoleh keuntungan dari menguatnya nilai dollar AS, sementara industri lainnya "bergelimpangan".
Selama Indonesia mengalami krisis, industri minyak sawit adalah satu di antara sedikit industri yang dapat bertahan, bahkan memperoleh keuntungan dari menguatnya nilai tukar dollar AS. "Dalam krisis ekonomi, yang masih tahan dan menjadi sumber kita adalah perkebunan, terutama untuk ekspor. Dan kelapa sawit dengan industri turunannya sangat berperan dan menjadi sangat penting untuk perolehan devisa," kata Dirjen Perkebunan.
Perkebunan eks milik Grup Salim termasuk yang terbaik, dan menjadi salah satu kunci dari industri minyak sawit Indonesia. Selain arealnya yang bagus, juga karena memiliki industri vertikal yang terintegrasi. Yaitu, mulai dari penanaman, pemanenan, pengolahan dari FFB menjadi CPO dan PKO (palm kernel oil). "Itu adalah barang jadi. Dikelola siapa pun akan jalan, karena memang barang bagus," ujar Pakpahan.
Persoalannya, "barang" bagus itu kini telah beralih menjadi milik asing, dan mungkin "barang" bagus-"barang" bagus lainnya akan menyusul "lepas" dari genggaman. Kini tinggal bagaimana kemampuan pemerintah melakukan antisipasi kebijakan agar kontrol terhadap terlaksananya fungsi sosial tanah yang dikuasai perkebunan dapat tetap difungsikan. Sehingga perkebunan tetap dapat menjadi instrumen bagi kebijakan-kebijakan strategis, terutama, yang terkait dengan masalah non pasar, seperti kebijakan harga yang bersifat pemerataan, dan sebagainya.
Di balik itu, ada persoalan besar yang juga harus segera dijawab, kemana pembangunan pertanian kita akan dibawa?. Sudahkah ada strategi besar yang menjadi landasan bagi setiap kebijakan dan langkah dibuat. Kalau tidak ada, cukup kita bertanya," Quo vadis perkebunan?". (Elly Roosita)

Perkebunan Kelapa Sawit Grup Salim yang Dijual
Nama perusahaan

  1. PT Aneka Intipersada ( Riau )
  2. PT Bahari Gembira Ria
  3. PT Bersama Sejahtera Sakti
  4. PT Bhumireksa Nusasejati
  5. PT Bina Sains Corporation
  6. PT Cibaliung Tunggal Plantation
  7. PT Gunung Mas Raya
  8. PT Indrotuba Tengah
  9. PT Indriplant
  10. PT Kridatama Lancar
  11. PT Ladangrumpun Suburabadi
  12. PT Laguna Mandiri
  13. PT Lahan Tani Sakti
  14. PT Langgeng Muaramakmur
  15. PT Paripurna Swakarsa
  16. PT Perkasa Subur Sakti *)
  17. PT PPP & PT Sri Kuala
  18. PT Sajang Heulang
  19. PT Salim Ivomas Pratama
  20. PT Serikat Putera
  21. PT Swadaya Andika
  22. PT Tamaco Graha Krida
  23. PT Teguh Sampurna
  24. PT Tunggal Mitra Plantation**)

Luas (Ha)

  1. 8.97119.
  2. 64811.
  3. 55917.
  4. 4026.
  5. 0224.
  6. 8169
  7. .3176.
  8. 6055.
  9. 1057.
  10. 59844.
  11. 96712.
  12. 5791.
  13. 96411.
  14. 39412.
  15. 129-7.
  16. 9695.
  17. 29121
  18. .65611.
  19. 9117.
  20. 97710.
  21. 4616
  22. .94710.
  23. 365
-------------
Total 262.653 Ha
Catatan:*)
hanya pabrik pengolahan CPO**)
20% sahamnya dimiliki Inkopad dan 20% milik Inkop Purnawirawan ABRI
Sumber: PT Holdiko Perkasa

Kompas 04 Des 2000

0 comments:

Posting Komentar

Label

2011 News Africa AGRIBISNIS Agriculture Business Agriculture Land APINDO Argentina Australia Bangladesh benih bermutu benih kakao benih kelapa benih palsu benih sawit benih sawit unggul Berita Berita Detikcom Berita Info Jambi Berita Kompas Berita Padang Ekspres Berita Riau Pos Berita riau terkini Berita Riau Today Berita Tempo bibit sawit unggul Biodiesel biofuel biogas budidaya sawit Bursa Malaysia Cattle and Livestock China Cocoa Company Profile Corn corporation Cotton CPO Tender Summary Crude Palm Oil (CPO) and Palm Kernel Oil (PKO) Dairy Dairy Products Edible Oil Euorope European Union (EU) FDA and USDA Fertilizer Flood Food Inflation Food Security Fruit Futures Futures Cocoa and Coffee Futures Edible Oil Futures Soybeans Futures Wheat Grain HUKUM India Indonesia Info Sawit Investasi Invitation Jarak pagar Kakao Kapas Karet Kebun Sawit BUMN Kebun Sawit Swasta Kelapa sawit Kopi Law Lowongan Kerja Malaysia Meat MPOB News Nilam Oil Palm Oil Palm - Elaeis guineensis Pakistan palm oil Palm Oil News Panduan Pabrik Kelapa Sawit pembelian benih sawit Penawaran menarik PENGUPAHAN perburuhan PERDA pertanian Pesticide and Herbicide Poultry REGULASI Rice RSPO SAWIT Serba-serbi South America soybean Tebu Technical Comment (CBOT Soyoil) Technical Comment (DJI) Technical Comment (FCPO) Technical Comment (FKLI) Technical Comment (KLSE) Technical Comment (NYMEX Crude) Technical Comment (SSE) Technical Comment (USD/MYR) Teknik Kimia Thailand Trader's Event Trader's highlight Ukraine umum USA Usaha benih varietas unggul Vietnam Wheat