BANDUNG, KOMPAS.com - Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, Santosa, mengungkapkan tantangan terbesar bagi industri kelapa sawit untuk berkembang saat ini adalah anggapan, bahwa kelapa sawit merusak lingkungan.
"Pada saat menanam sama dengan investasi, pasti kan ada minusnya. Gali, tanam, supaya gembur. Sama seperti investasi minus dong, tidak ada orang investasi yang nggak minus. Tapi, 30 tahun ke depan (kelapa sawit) ini akan menyerap Co2 (karbondioksida) dan mengembalikannya dalam bentuk oksigen," ucap Santosa kepada KOMPAS.com usai menghadiri acara workshop wartawan pasar modal, di Bandung, Jumat (18/11/2011).
Menurut dia, industri kelapa sawit terus tumbuh seiring pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini karena minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil) banyak dimanfaatkan, mulai untuk kebutuhan sehari-hari hingga industri. Ia menambahkan, dalam 10 tahun terakhir ini tingkat permintaan kelapa sawit paling rendah 3,5 juta ton per tahun. Atau, rata-rata permintaan sekitar 5 juta ton per tahun dan setiap hektar lahannya menghasilkan kira-kira 5 ton.
"Jadi, kalau 5 juta incremental demand itu harus dipenuhi oleh kelapa sawit, maka seluruh dunia itu minimal setiap tahun (menanam kelapa sawit) satu juta hektar," tambah dia.
Tetapi, terang dia, penanaman tertinggi yang pernah dilakukan di seluruh dunia itu hanya 750 ribu hektar per tahun.
"Jadi, kalau growth penduduk dunia sama dengan 10 tahun terakhir, which is tidak mungkin kan, jumlah jiwa saja sudah 7 miliar (sekarang). Maka, setiap tahun itu di dunia ini harus ada satu juta hektar lahan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit," kata Santosa.
Namun, melakukan konversi lahan kelapa sawit bukan persoalan mudah. Menurut dia, ada permintaan dari negara-negara maju untuk mengubah komoditi dari kelapa sawit ke tanaman lain, seperti rape seed, bunga matahari, dan soy bean. Semata-mata karena anggapan kelapa sawit merusak lingkungan.
"Nggak ada pengganti lain yang seproduktif ini," ucap Santosa.
Ketakutan barat
Ia menuturkan, produktivitas ketiga komoditi pertanian itu hanya 0,5 ton per hektar, atau hanya sepersepuluh dari kelapa sawit. Santosa menuturkan, ada ketakutan dari negara maju jika pelaku industri di Indonesia terus menambah lahan. Karena memang, kata dia, dibutuhkan penambahan sepuluh kali lipat dari yang ada sekarang.
"Itu yang membuat mereka (negara maju) takut," ujarnya.
"Bayangkan, kita hanya menanam 600 ribu hektar. (Dan) pada saat itu, Malaysia hanya menanam 150 ribu hektar, jadi total 750 ribu hektar, dibilang merusak. Padahal, di waktu yang sama, mereka sendiri mengkonversi untuk penanaman kedelai baru 3 juta," ujar Santosa.sumber: kompas.com
0 comments:
Posting Komentar