Petani Kelapa Sawit Termarginalkan
Posted byPekanbaru - Pada Maret 2011, sudah 100 tahun perkebunan kelapa sawit hadir di Indonesia. Sekelompok masyarakat sipil yang selama ini konsen dengan isu-isu atas dampak perkebunan menyelenggarakan konferensi pers bersama. Organisasi itu antara lain, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Hadir di antaranya adalah direktur eksekutif Walhi Riau Hariansyah Usman, Ketua Forum Nasional SPKS, Mansuetus Darto dan Yuslim sekjen SPKS Kabupaten Kuantan Singingi yang juga sebagai petani sawit.
Direktur Walhi Riau, Hariansyah Usman menegaskan bahwa provinsi Riau merupakan provinsi nomor satu di Indonesia penghasil kelapa sawit. Dengan luas lahan lebih kurang 2, 8 juta ha yang ada di Riau, Faktanya 35% saat ini masih berkonflik dengan masyarakat tempatan. Ekspansi kebun sawit dihutan gambut jelas sangat berkontribusi besar terhadap tingginya angka deforestasi serta peningkatan emisi karbon provinsi Riau.
Pada setiap kejadian bencana asap selalu saja ditemukan titik api didalam areal konsesi perusahaan kebun. Untuk itu penting momentum satu abad ini pemerintah Riau melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisi menjadi produsen sawit terbesar .
Dalam sejarahnya, Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura" (Wikipedia, 2008).
Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.
Mansuetus darto, kordinator forum Nasional SPKS mengatakan, tidak ada capaian berarti dari 100 tahun kelapa sawit. Hal ini dapat kita lihat, begitu lamanya perusahaan perkebunan milik konglomerat menguasai tanah dan menghasilkan bahan baku yang tidak ada bedanya dengan 100 tahun lalu. Dulu dikuasai Belanda sekarang berpindah ke tangan konglomerat,’ transisi demokrasi di Indonesi belum mampu mentranformasikan struktur perkebunan karena masih di topang oleh kolonialisme, tandasnya.
Lanjut dia, di saat tepat 100 abad perkebunan justru kebijakan soal masa depan petani kelapa sawit makin mundur. Dia mencontohkan kebijakan revitalisasi perkebunan yang menerapkan pola satu atap di mana petani di larang mengelola kebun seperti model PIR (Perusahaan Inti Rakyat) dan kebijakan izin usaha perkebunan yang mengatur 20 % untuk rakyat dan perusahaan 80 %.
Perkebunan sawit di Indonesia sudah mapan, dan seharusnya pemerintah sudah mulai mendesain masa depan petani kelapa sawit untuk mandiri. Karena itu,” tandasnya lagi perlu dilakukan tranformasi struktur perkebunan sebagai solusi persoalan dalam perkebunan, dengan dimulai dari evaluasi ijin usaha perkebunan dan membatasi penguasaan Hak Guna Usaha hingga 90 tahun.
Hal senada di sampaikan oleh petani sawit yang bermitra dengan PT. Tribakti Sari Mas di kabupaten Kuantan Singingi Yuslim yang juga sebagai sekjen SPKS Kabupaten Kuantan Singingi. Dia menjelaskan, masih berlangsungnya konflik petani yang bermitra dengan PT. TBS. Bulan Juni lalu, ibu Yusniar mati ditembak polisi karena berjuang untuk memperoleh keadilan dari PT. TBS.
Lanjut dia, hingga saat ini kebun yang tidak diberikan kepada petani sekitar 1.700 ha oleh PT. TBS. Masyarakat sejak beberapa hari lalu, telah melakukan pendudukan kebun inti. Namun PT. TBS belum merespon. Selain itu pula tambahnya, PT. TBS membangun kebun plasma setengah hati padahal kredit sudah maksimal untuk membangun kebun plasma yang lebih baik. Hal lain yang di sorot oleh Yuslim juga adalah pemakaian aparat kepolisian yang berlebihan di PT. TBS jika perusahaan tersebut bermasalah dengan petani.
Hal yang lain juga terjadi di PT. MAI (Mazuma Agro Indo) dan PT. Torganda di Kabupaten Rokan Hulu yang mencaplok ladang-ladang masyarakat. Kedua perusahaan tersebut, mengusir paksa masyarakat dan membakar rumah-rumah penduduk pada tahun 2010 lalu,” (database kasus SPKS).
Hariansyah Usman menambahkan konflik paling tinggi di Riau terjadi di dalam perkebunan, pada tahun 2010 sekitar 24 % dari total luasan kebun terjadi konflik. Hal ini diakibatkan oleh, masih berlakunya model paksa seperti zaman penjajahan dulu. Forum Nasional SPKS mencatat, tahun 2010 sebanyak 129 petani kelapa sawit di kriminalisasi hingga dipenjara. Yang dapat kita simpulkan, cara penjajahan masih dipraktekkan di masa saat ini, tandas Hariansyah.
Sebagaimana diketahui, sebanyak 20.117 ha kebun rakyat di Riau belum diremajakan karena terkait dengan penolakan petani kelapa sawit yang menentang pola manajemen satu atap dalam revitalisasi perkebunan. Pola manajemen satu atap di atur melalui, Permentan No. 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan dan Permenkeu No.117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan.
Pola manajemen satu atap adalah pengelolaan kebun plasma yang di lakukan oleh perusahaan baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani akan mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan.
Luas perkebunan kelapa sawit di riau seluas 2, 8 juta dan sekitar 50,51 % di kelola oleh 356.000 KK. Sisanya di kuasai oleh beberapa perusahaan perkebunan dan hamper 50% dari luas perkebunan swasta di kuasai oleh Negara Malaysia. (ira)
0 comments:
Posting Komentar