agroindonesia
Posted byNilai Penting Hutan Sebagai Pengatur Tata Air
Post Info Tuesday, July 7th, 2009 15:17 by agroindonesia
*Hunggul Yudono Setio Hadinugroho
Apabila kita masih mempunyai simpanan pecahan uang logam 100 rupiah keluaran tahun 1978 tipis, yang bergambar ”gunungan” wayang sebagai gambaran pohon kehidupan di satu sisinya dan rumah gadang di sisi lain, maka akan kita dapati tulisan ”hutan untuk kesejahteraan” yang melingkari gambar gunungan di bagian pinggirnya. Apabila dicermati mata uang kita dari awal mula kita mencetak uang sendiri sekitar tahun 1945 sampai dengan edisi terbaru baik logam maupun kertas, maka hanya pada uang 100 rupiah edisi 1978 ini lah tercantum kata ”hutan”.
Mungkin filosofi dasar dari mengapa kalimat tersebut pada tahun ’70 an ditulis di atas uang logam 100 rupiah, bukan uang kertas 5.000 atau 10.000 adalah agar kalimat tersebut dan pemahaman mengenai pentingnya hutan untuk kesejahteraan bisa menyentuh semua lapisan masyarakat.
Namun sejak lebih dari 15 tahunan yang lalu uang tersebut sudah jarang lagi terlihat dan tidak lagi digunakan digantikan dengan uang pecahan lain. Bahkan anak-anak sekolah setingkat SMA kebawah sekarang ini barangkali tidak ada yang pernah melihatnya.
Nampaknya nasib uang logam tersebut dan nilai 100 rupiah yang tidak lagi berharga, sejalan juga dengan nasib kalimat ”hutan untuk kesejahteraan” yang juga sayup-sayup mulai hilang ditelan angin.
Hutan tidak lagi menjadi sektor utama penunjang devisa negara. Bahkan beberapa tahun terakhir ini kawasan hutan justru lebih sering menjadi tumpuan kesalahan pada saat terjadi banjir dan longsor maupun kabut asap yang mendera berbagai kota di Indonesia dan negara tetangga.
Manfaat ekonomi hutan yang tidak dikelola secara efisien semakin tidak kompetitif dibandingkan pemanfaatan lain seperti tambang maupun kebun. Sementara itu manfaat non ekonomi hutan seperti pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, seringkali dinafikan karena nilainya dianggap tidak sebanding dengan kepentingan ekonomi.
Sedangkan jasa hutan seperti penyerap karbon, penghasil oksigen dan pengatur tata air belum dioptimalkan dan belum cukup populer di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, proses degradasi hutan pada tataran fisik maupun popularitas manfaat, mengalami percepatan ketika otonomi daerah mulai berjalan awal tahun 2000’an.
Untuk meningkatkan PAD, maka sumberdaya alam termasuk di dalamnya kawasan hutan, menjadi sasaran paling populer bagi daerah-daerah otonom untuk dieksploitasi dan dikonversi. Atas nama pemekaran wilayah dan pembangunan fasilitas perkotaan, hutan banyak yang dialih fungsikan.
Nilai penting hutan semakin lama semakin dikikis dalam pertimbangan ekonomi semata. Aturan 30 % penutupan hutan dalam suatu DAS yang diamanatkan oleh UU seringkali diartikan secara langsung oleh pembuat kebijakan baik lokal maupun nasional hanya sebagai persoalan kuantitas. Distribusi, posisi/letak, serta kualitas hutan dan kondisi tegakan jarang dipertimbangkan dalam proses alih fungsi hutan dan tukar guling kawasan hutan.
Yang lebih memprihatinkan lagi khususnya terkait dengan nasib hutan dan kehutanan kedepan, Fakultas Kehutanan yang berfungsi sebagai dapur pencetak ahli-ahli di bidang pengelolaan hutan beberapa tahun terakhir ini sepi peminat. Kalau kondisi-kondisi seperti diatas terjadi terus menerus, maka bukan tidak mungkin hutan dan kehutanan pada beberapa tahun kedepan dianggap tidak lagi penting dan proses kerusakan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan mengalami percepatan dari waktu ke waktu.
Dari sisi peraturan perundangan, pemerintah sebenarnya telah membuat aturan-aturan baik dalam bentuk UU, Peraturan Pemerintah, dan aturan lain dibawahnya yang berkaitan dengan bagaimana hutan harus dijaga dan dikelola. Di dalam UU No 41 tahun 1999 mengenai kehutanan, secara tegas dinyatakan bahwa hutan wajib diurus dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana implementasi di lapangannya?? Bagaimana meyakinkan masyarakat, pengusaha, dan aparat birokrasi daerah sampai pusat mengenai pentingnya mempertahankan hutan??? Nilai kompetitif apa yang dimiliki hutan sehingga keberadaan hutan dan fungsinya patut dipertahankan?
Salah satu nilai penting hutan yang tidak bisa dicarikan penggantinya, tidak terbantahkan dan vital bagi hajat hidup manusia adalah fungsinya sebagai pengatur tata air (water regulator). Pada masyarakat awam fungsi regulator ini diartikan sebagai fungsi penghasil air.
Hutan dan hasil air adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Apabila kehutanan sulit mempertahankan diri dan berargumentasi dengan sektor lain dalam memperebutkan kawasan hutan dari sudut pandang ekonomi, sosial, maupun perlindungan ekosistem, maka isu krisis air adalah salah satu dari sedikit isu yang tidak bisa dibantahkan.
Terkait dengan hutan dan kehutanan yang selalu menjadi tertuduh pada saat kejadian banjir, longsor, dan kekeringan, maka mempopulerkan kembali fungsi hutan sebagai pengatur tata air adalah salah satu langkah strategis untuk mengembalikan kembali nilai penting hutan dan memposisikan hutan sebagai ruang vital berdasarkan kalkulasi sosial dan ekologi yang jauh lebih berharga dari nilai ekonomi langsung.
Air merupakan barang yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, bahkan para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad ke-21 ini.
Laporan dari Pentagon yang dikutip The Observer menyebutkan bahwa akan terjadi catastrophic shortage (kekurangan air yang dahsyat) terhadap air di masa mendatang yang akan mengarah pada menyebarnya perang di sekitar tahun 2020 (Kompas, Maret 2004).
Hasil kajian global krisis air dunia yang disampaikan pada 2nd World Water Forum di Den Hag tahun 2000 bahwa salah satu penyebab krisis air di dunia adalah kelemahan dalam penyelenggaraan (governance) pengelolaan air. Dengan kata lain yang disebut dengan krisis air bukanlah airnya yang krisis, tetapi penyelenggaraan pengelolaan (Rajasa, H. 2002)
Berapa air yang harus diproduksi dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia?
Untuk memproduksi 1 kg gula diperlukan 160-1.040 liter air; 1 kg daging sapi membutuhkan 15.000-20.000 liter air; 1 kg beras dibutuhkan 3.400-4.000 liter air. Apabila kebutuhan beras perkapita penduduk adalah 135 kg/tahun, dan jumlah air yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg beras adalah 3.000-4.000 liter, maka dengan jumlah penduduk tertentu dapat diperkirakan kebutuhan minimal air yang harus diproduksi dari DAS tertentu untuk memenuhi kebutuhan beras.
Demikian pula untuk kebutuhan lainnya. Dengan melihat kebutuhan hidup seseorang, standar FAO menyatakan sesungguhnya seseorang membutuhkan 2.600 liter/orang/hari (FAO, 1996). Di Indonesia standar kecukupan air per kapita adalah 2.000 m3/tahun (Nugroho, S.P. 2002). Untuk kebutuhan air minum, WHO menentukan jumlah air minum yang harus dipenuhi agar dapat mencapai syarat kesehatan adalah 86,4 liter/kapita/hari, sedang kondisi di Indonesia ditentukan sebesar 60 liter/hari.
Apabila kita tarik lebih jauh untuk kepentingan hilir, kebutuhan air juga meliputi kebutuhan untuk air minum dalam kemasan dan PDAM. Pada tahun 2006 Aspadin memperkirakan penjualan air mimun dalam kemasan sebesar 12 miliar liter.
Pada umumnya sejumlah air tersebut berasal dari air permukaan (mata air) yang berada di daerah pegunungan (kawasan hutan di hulu DAS). Dari produksi air minum PDAM, tahun 2008 total kapasitas mencapai 90 m3/detik (Harian Berita Online-Berita Sore, 2008). Apabila di konversi dalam hitungan produksi per tahun jumlahnya bisa mencapai hitungan 2,8 miliar m3. Dan kesemuanya itu berasal dari air permukaan.
Sayangnya, air hujan yang jatuh ke bumi dan mengalir dari hulu lebih banyak yang langsung mengalir menuju hilir dalam bentuk aliran permukaan melalui sungai dalam jumlah yang justru merugikan atau dalam istilah umum disebut sebagai banjir.
Air banjir yang mengalir pada musim hujan adalah potensi air yang terbuang dan mengalir ke laut secara percuma. Padahal sesungguhnya potensi air tersebut dapat digunakan sepanjang tahun untuk kebutuhan manusia. Banjir Sungai Ciliwung misalnya, diperkirakan berasal dari 60% curah hujan yang jatuh atau setara dengan 1,6 miliar m3, angka ini dapat memenuhi kebutuhan air kurang lebih 5 juta orang selama 4 bulan kemarau.
Kebutuhan air dari suatu kawasan tertentu (dalam satuan DAS/Sub DAS) dapat dihitung dengan terlebih dahulu memetakan dan mengkuantifikasikan semua bentuk produksi, kegiatan yang membutuhkan air, dan jumlah penduduk. Pertanyaannya adalah bagaimana hutan harus dikelola apabila kita menghendaki kuantitas, kualitas, dan distribusi hasil air tertentu? Apabila dalam suatu kawasan kita dapat menghitung jumlah air yang dibutuhkan, berapa luas hutan yang harus ada? Bagaimana bentuknya? Bagaimana mengelola DAS untuk kebutuhan air tertentu?
Pada prinsipnya, batas di mana praktik pengelolaan DAS atau manipulasi penutupan hutan dapat mempengaruhi produksi hasil air ditentukan oleh iklim, karakteristik-karakteristik daerah tangkapan, dan jenis serta kondisi hutan. Berbagai pemodelan hidrologi dari yang kompleks sampai yang sederhana telah tersedia.
Model matematis yang menghubungkan antara besarnya curah hujan, kondisi penutupan hutan, topografi, tanah, bentuk lahan, jaringan sungai, dan output hasil air telah banyak dihasilkan oleh para akhli dan merupakan model berbasis komputer (computer based model) seperti AGNPS, ANSWER, CREAMS dan lain-lainnya.
Dalam siklus air (hydrologycal cycle), hutan berperan dalam menerima dan menyimpan air (proses infiltrasi), menahan dan menguapkan sebelum mencapai permukaan tanah (intersepsi), maupun melepaskan air ke udara melalui penguapan dari permukaan tanah (evaporasi) maupun dari jaringan daun (transpirasi).
Karakter hutan sangat berpengaruh terhadap berapa besar air hujan yang langsung mengalir di permukaan menjadi aliran permukaan, berapa yang di intersepsikan, berapa yang diresapkan ke dalam tanah, berapa yang akan diuapkan kembali melalui proses evapotranspirasi, dan berapa yang akan menjadi air bawah permukaan dan akan dialirkan melalui mata air-mata air.
Secara sederhana untuk menghitung berapa luas kawasan hutan yang harus dibangun dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan bilangan kurva ataupun koefisien aliran permukaan.
Koefisien aliran permukaan untuk berbagai penutupan lahan seperti hutan primer, hutan tanaman, kebun, pemukiman, sawah, dan lainnya memiliki nilai yang berbeda-beda dan sudah tersedia dari hasil penelitian-penelitian terdahulu.
Hutan yang masih baik mempunyai nilai koefisien limpasan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kebun maupun lahan terbuka. Besarnya air yang akan mengalir menjadi banjir dan yang akan tersimpan di bawah permukaan dapat diperirakan/didekati dengan menggunakan nilai koefisien tersebut berdasarkan luasan masing-masing penutupan lahan.
Demikian pula dengan karakter tanaman. Masing-masing jenis tanaman memiliki respon yang berbeda terhadap air yang dicerminkan dalam nilai transpirasi, intersepsi, air lolos (troughfall), dan aliran batang (stempflow). Berbagai penelitian yang dilakukan sebelumnya sudah mampu menghasilkan angka-angka spesifik untuk berbagai jenis tanaman. Dengan adanya pemahaman atas respon spesifik tanaman terhadap air, maka mengelola hutan untuk menyimpan air (pada daerah yang defisit /daerah kering) akan berbeda dengan mengelola hutan untuk membuang air (daerah surplus/ curah hujan tinggi).
Pada kenyataannya dalam kegiatan penanaman (GERHAN) jarang sekali pertimbangan pemilihan pohon yang akan di tanam didasarkan karakter tanaman terkait dengan potensi transpirasi, intersepsi, aliran batang, maupun aliran lolos. Pada umumnya, dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis lebih ke kesesuaian tanaman (ketinggian tempat, CH, iklim, jenis tanah) dan pertimbangan sosial ekonomi. Demikian juga dengan penentuan detail lokasi penanaman, neraca air jarang digunakan sebagai dasar pertimbangan teknik detail kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Pengelolaan hutan bukan hanya persoalan perencanaan teknis semata, tetapi bagaimana meyakinkan semua stakeholder untuk memahami alasan ilmiah pentingnya suatu kawasan hutan dikelola menggunakan tujuan dan pendekatan tertentu. Hutan seringkali dikalahkan baik secara legal maupun ilegal oleh peruntukan lainnya karena persoalan efisiensi dari sisi ekonomis yang merupakan alasan utama hutan dikelola.
Melihat bahwa secara filosifis maupun legal formal (UU), hutan harus dijaga keberadaannya, maka pertimbangan non ekonomis dan yang tidak terbantahkan — fungsi hutan sebagai ”pengelola hasil air” — perlu dijadikan alasan terdepan dalam upaya pengelolaan hutan dalam fungsi apapun apabila para rimbawan maupun non rimbawan masih ingin melihat hutan kita terjaga dengan baik lintas generasi dengan menerapkan sistem pengelolaan yang sesuai kemampuan ekosistemnya agar kalimat indah ”hutan untuk kesejahteraan” dapat menjadi kalimat yang tidak pernah usang dan selalu terngiang di telinga kita semua.
*Peneliti Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Kandidat PhD kerjasama Tropenbos Indonesia-Badan Litbang Kehutanan
Leave a Reply
SUBSCRIBE : Login | Registrasi | Perpanjangan | Konfirmasi
Copyright © 2009 agroindonesia.co.id. All rights reserved. Comments & suggestions please email : micom@agroindonesia.co.id
powered by Gurfahmedia.com using Wordpress
0 comments:
Posting Komentar