RSS Feed

KAPAS HIBRIDA CINA JADI POLEMIK

Posted by Flora Sawita

Source: http://product-image.tradeindia.com/

Tanaman yang memiliki karakter unggul secara genetis bisa berubah menjadi biasa-biasa saja akibat perlakuan yang tidak tepat.

Demikian juga yang terjadi dengan kapas Hibrida Cina, varietas introduksi. Ternyata setelah ditanam di Indonesia ternyata produksinya tidak lebih dari 1 ton di sejumlah daerah. Bahkan di Lamongan, ada kasus petani dengan produksi mendekati nihil.

Padahal kapas unggul ini diperkirakan bisa mencapai produksi hingga 4 ton/ha, jauh melampaui kapas lokal yang potensinya produksi 3,6 ton/ha. Disamping itu kapas hibrida diklaim memiliki ketahanan terhadap serangan hama utama kapas, sehingga bisa membantu petani menekan biaya pembelian pestisida.

Jadi apa gerangan dengan kapas Cina sehingga hasilnya jauh dari harapan?

Mungkin kita perlu melihat bagaimana kapas ini dibudidayakan di negara asalnya Cina. Hasil hingga 4 ton adalah hasil yang biasa diraih petani kapas di negara tersebut dengan menggunakan jenis hibrida ini.

Dengan meniru cara petani Cina membudidayakan kapas bisa jadi hasil tersebut juga dapat diraih petani di Indonesia. Kalaupun tidak bisa mencapai 4 ton, tentunya tidak anjlok hingga dibawah 1 ton/ha.

Menurut Donatus Direktur PT, Supin Raya, distributor benih kapas hibrida, di negara asalnya kapas ini dikelola secara secara intensif. Setidaknya hal ini sudah diawali sejak pembibitan. Dimana benih terlebih dahulu disemaikan dan kemudian dibibitkan di dalam polibeg.

Sedangkan untuk pemupukan, petani memberikan pupuk secara memadai. Bahkan 2 x lebih banyak dari standar pemupukan kapas di Indonesia. Jika mengacu pada standar kebutuhan pupuk di Indonesia, tanaman kapas memerlukan pupuk 50 kg Za, 100 kg KCl, SP36 dan urea. Maka di Cina, untuk urea saja, tanaman kapas bisa mendapatkan pupuk hingga 200 kg.

Hal lain yang penting untuk diperhatikan, menurut Donatus, budidaya kapas di Cina umumnya dilengkapi dengan pengairan teknis. Sehingga tanaman kapas di negara tirai bambu tercukupi kebutuhan airnya.

Selama pertumbuhan vegetatif, mulai dari saat tanam, tanaman kapas itu memerlukan pengairan. Maka pengairan untuk kapas tidak bisa diharapkan dari hujan, harus ada irigasi teknis atau penyiraman. Sedangkan pertanam kapas di Indonesia tidak dilengkapi pengairan teknis.

Dan berbeda dengan kebiasaan petani di Indonesia, petani di Cina menanam kapas secara monokultur. Sehingga tanaman kapas bisa mendapatkan nutrisi secara memadai tanpa harus bersaing dengan tanaman lain.

Lalu, bagaimana kapas ditanam di Indonesia. Saat ini ada 3 jenis kapas hibrida yang telah dilepas menjadi benih bina, yakni HSD 31, HSD 138 dan HSC 188. ketiga varietas ini telah digunakan secara luas khususnya di wilayah Sulawesi yang merupakan sentra pengembangan kapas di Indonesia.

Berbeda dengan petani di Cina, kapas di Indonesia umumnya ditanam secara polikultur. Apakah itu dengan kacang kedelai, kacang tanah atau jagung. Akibatnya terjadi persaingan hara dan sinar matahari dengan tanaman kapas. Hal ini diduga menjadi salah faktor penyebab rendahnya produktivitas tanaman kapas di Indonesia

Terkait pembibitan, petani umumnya menanam langsung benih kapas langsung di pertanaman. Bahkan dengan kedalaman yang tidak tepat sehingga akhirnya banyak benih yang tidak tumbuh.

Menurut Donatus, hal inilah yang kemudian menimbulkan anggapan jika daya kecambah kapas hibrida rendah. Padahal sebenarnya hal ini terjadi karena kesalahan dalam perlakuan benih.

Disamping itu petani umumnya tidak melakukan pemupukan dengan tepat, bahkan lebih rendah dari standar pemupukan kapas di Indonesia. Serta tanaman juga tidak mendapatkan pengairan yang memadai. Tanaman yang seharusnya memerlukan perawatan serius oleh petani ditanam dengan ala kadarnya. Sehingga wajar tanaman tumbuh dengan tidak optimal.

Walaupun demikian, Donatus menjelaskan, bahwa di beberapa wilayah di Sulawesi Kapas Hibrida bisa mencapai potensi 2 - 4 ton/ha. Setidaknya hal ini dialami sejumlah petani di Kabupaten Soppeng, Bone dan Wajjo. Karena petani di Kabupaten tersebut melakukan pemeliharaan tanaman dengan baik.

“Sedangkan di beberapa daerah lainnya hasilnya kurang menggembirakan, tidak mencapai 1 ton antara lain di Bantaeng, Sinjai dan Bulukumba. Hal ini, diakibatkan kesalahan teknis dalam penanaman. Sertanya adanya faktor non-teknis karena curah hujan yang tidak teratur”, tambah Donatus.

Maka menurut Donatus untuk meningkatkan produksi kapas nasional petani perlu mendapatkan bimbingan teknis tentang cara budidaya tanaman kapas yang tepat. Karena kalaupun benihnya unggul namun tidak dipelihara tidak baik, hasilnya akan tetap saja tidak memuaskan.

Oleh sebab itu di lapangan petani-petani kapas sangat membutuhkan tenaga pendamping yang sebaiknya disediakan oleh Instansi pemerintah. Merekalah yang menjadi ujung tombak perubahan perilaku petani bercocok tanam.

Disamping itu petani harus mendapatkan manfaat bertani kapas yang melebih tanaman lainnya. Kalau tidak maka petani akan tetap tergiur untuk menanam kapas secara tumpang sari.

Seadainya saja dengan monokultur sudah mendapatkan keuntungan yang besar, pasti petani akan mau menanam kapas dengan sungguh-sungguh. Menurut Donatus harga dasar ideal pembelian kapas petani sebaiknya di atas Rp. 5.000,-.

Disamping itu juga pemerintah perlu membantu petani untuk menyediakan bantuan peralatan khususnya untuk melakukan pengairan. Karena air adalah hal krusial dalam budidaya kapas. Demikian ditambahkan Donatus.

Perilaku Petani dan Perakitan Varietas
Namun merubah budaya tentunya hal tidak mudah. Apalagi perubahan tersebut tidak berhubungan nyata dengan peningkatkan pendapatan petani.

Menurut Emy Sulistyowati, peneliti Balai Tanaman Tambakau dan Serat Malang Petani di Indonesia cenderung memilih menanam kapas secara tumpang sari, karena mereka mengharapkan penghasilan tambahan dari tanaman selain kapas.

Dan kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi pengembangan kapas hibrida, yang pada dasarnya memerlukan perhatian yang intensif, sehingga idealnya ditanam secara monokultur.

Namun, menurut Emy Sulistyowati, kebiasaan petani demikian adalah hal yang harus diperhatikan dalam melakukan perakitan dan introduksi bahan tanaman. Jadi bahan tanam yang unggul itu masih bisa memberikan hasil yang mumpuni meski ditanaman dalam kondisi yang kurang baik.

Seperti halnya kapas lokal Kanesia 8 yang cukup disukai petani meskipun pada dasarnya potensinya lebih rendah dari kapas hibrida. Varietas tersebut masih mampu mencapai produksi hingga 1 ton meskipun ditanam secara tumpang sari di sejumlah daerah. Hal ini yang mengakibatkan mengapa petani memilih varietas lokal ini untuk ditanam.

Dan, ditambahkan Emy Sulistyowati , Seperti halnya kapas Cina, kapas lokal inipun kalau dipelihara sesuai standar teknis, hasil bisa melampaui potensi rata-rata. Misalnya seperti yang terjadi di PT. Ade Agro Industri di Sumba yang bisa mencapai 5 ton dengan tanaman kanesia 8. Dimana kapas tidak hanya terpenuhi untuk kebutuhan air, namun juga memperoleh pupuk 3 lebih banyak dari standar kebutuhan pupuk untuk kapas.

Maka, menurut Emy Sulistyowati, untuk melakukan introduksi maka perilaku petani dalam bercocok tanaman perlu juga menjadi pertimbangan. Utamanya petani harus diajarkan bertanam kapas sesuai standar teknis budidaya kapas.

“Namun selagi dalam proses perubahan belum terjadi sepenuhnya, perlu juga diperkenalkan bahan tanam yang relatif masih menghasilkan produksi yang menguntungkan meskipun ditanam dalam kondisi pertanaman yang kurang baik. Sehingga petani tetap tertarik mengembangkan komoditas tersebut”, tambah Emy Sulistowati.

Oleh sebab itu kendala yang perlu diperhatikan pada program akselerasi pengembangan kapas adalah perilaku petani dalam melakukan penanaman. Mengingat 20.000 Ha kapas bakal dikembangkan di Indonesia pada tahun 2009 ini.

Maka selain bahan tanam unggul yang perlu disediakan, petani juga harus dibekali pengetahuan dan kemampuan bercocok tanam yang baik. Serta didukung sarana dan prasarana yang memadai.

Namun jika hal ini kurang mendapatkan perhatian pemerintah maka bisa jadi impian Indonesia meningkatkan produksi kapas nasional melalui perluasan areal menjadi tidak signifikan hasilnya. Akhirnya akhirnya program akselerasi pengembangan kapas meleset dari sasaran. Alias gagal dalam pelaksanaannya seperti halnya program pengembangan jarak pagar yang merana dan tidak jelas arahnya.

0 comments:

Posting Komentar

Label

2011 News Africa AGRIBISNIS Agriculture Business Agriculture Land APINDO Argentina Australia Bangladesh benih bermutu benih kakao benih kelapa benih palsu benih sawit benih sawit unggul Berita Berita Detikcom Berita Info Jambi Berita Kompas Berita Padang Ekspres Berita Riau Pos Berita riau terkini Berita Riau Today Berita Tempo bibit sawit unggul Biodiesel biofuel biogas budidaya sawit Bursa Malaysia Cattle and Livestock China Cocoa Company Profile Corn corporation Cotton CPO Tender Summary Crude Palm Oil (CPO) and Palm Kernel Oil (PKO) Dairy Dairy Products Edible Oil Euorope European Union (EU) FDA and USDA Fertilizer Flood Food Inflation Food Security Fruit Futures Futures Cocoa and Coffee Futures Edible Oil Futures Soybeans Futures Wheat Grain HUKUM India Indonesia Info Sawit Investasi Invitation Jarak pagar Kakao Kapas Karet Kebun Sawit BUMN Kebun Sawit Swasta Kelapa sawit Kopi Law Lowongan Kerja Malaysia Meat MPOB News Nilam Oil Palm Oil Palm - Elaeis guineensis Pakistan palm oil Palm Oil News Panduan Pabrik Kelapa Sawit pembelian benih sawit Penawaran menarik PENGUPAHAN perburuhan PERDA pertanian Pesticide and Herbicide Poultry REGULASI Rice RSPO SAWIT Serba-serbi South America soybean Tebu Technical Comment (CBOT Soyoil) Technical Comment (DJI) Technical Comment (FCPO) Technical Comment (FKLI) Technical Comment (KLSE) Technical Comment (NYMEX Crude) Technical Comment (SSE) Technical Comment (USD/MYR) Teknik Kimia Thailand Trader's Event Trader's highlight Ukraine umum USA Usaha benih varietas unggul Vietnam Wheat