RSS Feed

kph

Posted by Flora Sawita

MENANTI KELAHIRAN BAYI UNGGUL
Ini bukan cerita tentang kelahiran bayi yang sesungguhnya, tapi bayi Departemen Kehutanan yang sebentar lagi akan lahir dan sangat ditunggu-tunggu kelahirannya untuk menjawab permasalahan Kehutanan di Bali yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
LATAR BELAKANG
Bali merupakan wilayah kepulauan dengan luasan 563.268 Ha dan tercatat ± 124.000 Ha berupa Hutan ( 23,4 % ) yang kondisinya secara riel dari waktu ke waktu mengalami tekanan dan degradasi. Berdasarkan kondisi Bali merupakan Ekosistem Pulau maka didalam manajemen Pengelolaan Ekosistem harus berpikir Orientasi Satu kesatuan Manajemen (Komando). Skala prioritas Pengeloaan harus mengarah pada Prinsip Ekologi, kemudian prioritas masalah Sosial selanjutnya orientasi Ekonomi.
Kawasan Hutan di Kabupaten Jembrana berada pada kelompok Hutan Yeh Leh Yeh Lebah (RTK 12) seluas 2.813,00 Ha dan Kelompok Hutan Bali Barat (RTK 19) seluas 38.494,27 Ha. Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Jembrana adalah 41.307,27 Ha atau 7, 48 % dari Luas Pulau Bali; atau 31,61 % dari luas Kawasan Hutan Pulau Bali; atau 49,07 % dari luas daratan Kab. Jembrana. Kawasan Hutan hampir 80,471 % berupa Kawasan fungsi Lindung. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jembrana kawasan tersebut disepakati dipertahankan sebagai Penyangga Sistem Kehidupan wilayah Bawahan. Dalam Pembangunan sektor ekonomi , Bidang Pertanian sebagai tulang punggung pembangunan bidang ekonomi sangat tergantung pada kondisi tata lingkungan dan tata air serta Ekosistem wilayah Hulu sebagai sarana pendukung Produksi. Oleh sebab itu kondisi Lingkungan di Wilayah Hulu Jembrana mutlak dipertahankan .

Kondisi saat ini diperkirakan sekitar 30 - 40 % Hutan diwilayah hulu Jembrana dalam keadaan rusak akibat adanya usaha illegal perubahan fungsi terhadap keberadaan fungsi Hutan tersebut, hal ini terjadi sebagaian besar pada Hutan fungsi lindung di Jembrana.

Berkaitan dengan posisi Hutan Jembrana dan degradasi Hutan yang terjadi saat ini, penanganan perbaikan kondisi lingkungan sebagaimana diatas perlu diselenggarakan secara sinergi, termasuk sitem penyelenggaraan Kelembagaan dalam menangani masalah yang sangat kompleks ini.



PERMASALAHAN

Aspek permasalahan kompleks yang sementara ini terjadi adalah :

1. Aspek Tehnis

Pengaturan dan Implementasi pembagian Blok pada areal Kawasan Hutan Fungsi Lindung sesuai PP 34 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan lagi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, belum dilaksanakan di lapangan. Pola Tehnik tentang Peluang Pengelolaan dan Pemanfaatan Ruang dalam Kawasan Hutan belum dirancang dan direalisir. Penyusunan Rencana Jangka Panjang dan Pendek Pengelolaan Hutan Jembrana ( khususnya Kawasan Hutan Lindung ) yang seyogianya diselenggarakan oleh Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Pengelolaan Hutan ( KPH ), belum dilaksanakan. Dokumen tersebut seharusnya digunakan sebagai Pedoman Pelaksanaan serta Pedoman di tingkat Lapangan.

Pembagian Blok yang dimaksudkan sesuai ketentuan pengaturan dalam PP No. 6 Tahun 2007 adalah pembagian Blok dalam Kawasan Hutan Lindung yang terdiri dari Blok Inti, Blok Lindung dan Blok Pemanfaatan/Penyangga. Pada Blok Pemanfaatan/Penyangga inilah perlu dijabarkan serta diperjelas seberapa jauh akses masyarakat sekitar Hutan “ diperkenankan “ melakukan aktifitas didalam areal Kawasan Hutan yaitu menyangkut akses fasilitasi, sebagai berikut :

a. Seberapa Pembagian Ruang yang diperkenankan diakses masyarakat untuik beraktifitas di dalam areal Kawasan Hutan Lindung.

b. Bagaimana perihal Hak dan Kewajiban dalam Pengelolaan Hutan

c. Seberapa Kontribusi Manfaat bagi Masyarakat maupun bagi Pemerintah bila benar diperkenankan Mengelola Hutan yang diijinkan

Ketiga aspek yang memerlukan kejelasan pengaturan bagi masyarakat ini sangat diperlukan dalam pelaksanaan ditingkat lapangan. Hal ini belum direalisasikan di lapangan. Dampak yang dirasakan adalah terjadinya kesulitan dalam mengakses secara legal masyarakat yang akan difasilitasi memanfaatkan Kawasan Hutan tersebut.

2. Aspek Sosial

a. Pola perilaku dan sikap masyarakat yang berorientasi konsumeristis dan global tidak bisa dihindari

b. Oknum Pemodal/Mafia Perkayuan, memanfaatkan kondisi ekonomi masyarakat miskin/pendapatan rendah diajak, diarahkan terlibat dalam sindikasi iilegal logging sebagai pelaku/pekerja pencurian kayu, perencekan, pengawenan alih fungsi lahan dalam Hutan negara.

c. Tersumbatnya akses peranan ekonomi masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya Hutan, memicu pemahaman melihat sumberdaya alam Hutan sebagai alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidup primer yang “segera”.

3. Aspek Ekonomi

a. Kondisi Perekonomian Masyarakat sekitar Hutan relatif lemah, peluang serta kesempatan usaha dan bekerja sangat terbatas, kondisi ini sangat rentan terhahap “ Ajakan “ untuk melakukan tindakan kejahatandan diajak konspirasi dalam tindakan illegal .

b. Kebutuhan bahan baku hasil Hutan kayu bagi Industri di Bali sangat tinggi, utamanya jenis kayu pertukangan dan kayu langka, menjadikan kayu sebagai komoditi langka dan mahal dan dicari banyak pihak dari segi Bisnis. Kondisi ini merangsang masyarakat lemah ekonomi tertarik dan Nekad melakukan tindakan illegal mengambil hasil Hutan secara paksa dalam Hutan negara.

4. Aspek Penataan Wilayah

Jauh sebelum program Pemetaan, Penunjukkan, Penataan Batas serta Penetapan Kawasan Hutan Negara ( Thn 1970 an ), masyarakat penyanding Hutan telah melakukan kegiatan pemanfaatan Hutan Tutupan ( Milik Pemerintah/Negara yang belum ditata ).

Hasil tanaman Budidaya/Produktif dalam Kawasan Hutan tutupan ( Negara ) tersebut dimasa yang lalu ( th. 1970 – 1985 ), oleh Pemerintah dilakukan Pungutan Retribusi terhadap Hasil Tanaman Budidaya/Produktif “ Illegal “ tersebut, sehingga masyarakat merasa menjadi “ Legal “ terhadap apa yang dilakukan secara “ illegal “ itu.

Dalam perkembangannya pada Dekade Pasca 1998 ( Dekade Euforia Reformasi ), Kawasan Hutan banyak dijarah , dialihfungsikan menjadi areal Tanaman Budidaya dan Tanaman yang tidak sesuai dengan Fungsi Hutan, dikerjakan secara illegal dengan dalih dampak Sosial, Ekonomi maupun Politik. Pemberlakuan Konsep Hutan Kemasyarakatan yang ditafsirkan tidak tegas, memberi peluang masyarakat semaunya menggunakan Kawasan Hutan tanpa ijin.

Dipihak lain Pemerintah Daerah melalui Produk Hukum Peraturan Daerah (Perda 7 Tahun 2002 tentang RTRW) telah mengarahkan dan mengatur Penataaan Ruang baik Kawasan Lindung maupun Kawasan Budidaya, namun dalam pelaksanaannya tidak diindahkan masyarakat dan tidak ada sanksi hukum yang signifikan dapat mencegah pelanggaran itu.

5. Aspek Budaya

Masyarakat belum sepenuhnya menerapkan konsep kecintaan terhadap alam lingkungan sebagaimana amanah dalam penerapan konsep Tri Hita Karana. Banyak konflik kepentingan antara melaksanakan konsep kecintaan Lingkungan yang erat hubungannya dengan kecintaan pada Tuhan Yang Maha Esa/SangHyangWidhiwasa dengan kebutuhan mendesak/primer yaitu keperluan hidup primer sehari hari.

Demikian pula keanekaragaman latar belakang, budaya masyarakat di wilayah Bali Bagian Barat dengan berbagai sikap pemahaman/keyakinan pada kecintaan Lingkungan, sangat beragam dan kompleks serta heterogen.

6. Aspek Politik

Kelompok Masyarakat yang telah lama memanfaatkan secara illegal Hutan negara, dijadikan sasaran sebagai kelompok massa pendukung bagi oknum/Calon pimpinan yang bermaksud mencari dukungan massa untuk dapat/berhasil dipilih menjadi salah satu Jabatan Strategis. Kesempatan ini dijadikan possisi tawar bila diperoleh dukungan secara significan maka kesempatam menggunakan Hutan Negara untuk “ Ngawen (illegal) “ bagi kelompok masyarakat pendukung tersebut, akan “ diperjuangkan keberlanjutannya “. Hal ini bisa terjadi disetiap lini Masa Pemilihan figur Pimpinan Kelompok Masyarakat, mulai Pemilihan Pimpinan Formal ataupun Non Formal (TOMA) dari tingkat bawah samapi tingkat atas dan seterusnya.

7. Aspek Kelembagaan

Memperhatikan Bali merupakan Ekosistem Pulau maka Manajemen Pengelolaa Hutan di Bali sejak dulu menganut prinsip Komando, dimana secara Hirarhi Pengurusan Hutan langsung ditangani Propinsi Bali. Ditingkat lapangan hanya merupakan kepanjangan tangan Propinsi. Organisasi Pelaksana Pengurusan Hutan di tingakt lapangan ( Kabupaten ) hanya berstatus Bagian Kesatuan Manajeman. Saat ini hanya berupa setingkat Resort Polisi Hutan yang bobot tugasnya diarahkan pada Aspek Keamanan Gangguan Kawasan Hutan. Tugas tugas lain dalam konteks aspek lingkup Pengelolaan Hutan, belum tertangani secara maksimal. Dalam sistem kelembagaan pengawasan Hutan seperti ini, dirasakan belum dapat berjalan optimal.

KEGIATAN KEHUTANAN JEMBRANA
Dari 5 kegiatan pokok Pengelolaan Hutan Indonesia, kegiatan pengelolaan Hutan di Kabupaten Jembrana prioritas dilaksanakan 3 kegiatan yaitu 1) Perlindungan dan Konservasi Alam; 2) Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan; 3) Pemanfaatan Hutan. Kegiatan Pemanfaatan Hutan belum dapat dilaksanakan secara optimal karena terkendala kelembagaan pengelolaan hutan dan penataan kawasan hutan serta pola kegiatan yang belum berjalan sebagaimana mestinya.

1. Perlindungan dan Konservasi Alam

Selama periode Tahun 2001 s/d 2007 telah mengamankan barang kayu temuan sebanyak 16.803 batang atau 996,900 M3 dengan rincian sebagai berikut :
Sampai dengan bulan Mei 2008, jumlah kayu yang masih tersimpan di TPK Kab. Jembrana sejumlah ± 315 M3 dan sebagian besar merupakan jenis kayu yang tidak diperkenankan untuk dilelang dan harus dimusnahkan karena berasal dari Kawasan Hutan Lindung.

Pengamanan tersangka pelaku tindak kejahatan Bidang Kehutanan baik oleh Tim PGKH, Jajaran Kepolisian, Satgas Polhut Mobile Bali Barat maupun bantuan masyarakat sebanyak 295 kasus dengan rincian sebagaimana grafik berikut :

Sedangkan perkembangan Putusan Pengadilan terus mengalami peningkatan jumlah lamanya hukuman kurungan bagi tersangka. Hal ini diharapkan akan mampu memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan bidang Kehutanan. Salah satu kasus bidang Kehutanan yang paling menonjol di Kabupaten Jembrana yaitu dengan tertangkapnya cukong/mafia kayu paling berpengaruh dan telah diganjar dengan hukuman selama 2 Tahun penjara dan denda Rp. 5.000.000,- (hasil putusan kasasi pengadilan). Namun kasusnya masih berjalan karena pihak penuntut umum mengajukan banding atas putusan tersebut yang masih lebih rendah dibanding tuntutan awal yaitu hukuman kurungan 3,5 Tahun Penjara. Perkembangan lama hukuman kurungan putusan Pengadilan Negeri Jembrana dari Periode Tahun 2001 s/d 2007 dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik Perkembangan Putusan Pengadilan Dalam Kasus Bidang Kehutanan
2. Rehabilitasi dan Pemanfaatan Hutan
Adapun kegiatan Rehabilitasi dan reklamasi Hutan yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut :
* Program Inovatif (Penanaman Bambu) seluas 33,20 Ha dari bantuan Bank Dunia pada Kawasan Hutan Lindung yang didampingi oleh LSM Yayasan Kalimajari.
* Hutan Kayu Perpatungan seluas 383 Ha di Hutan Produksi Tetap (HPT) yang bekerjasama dengan desa Pakraman.
* Rehabilitasi Hutan Lindung seluas 75 Ha di Kec. Melaya yang melibatkan Kelompok Tani Penyanding Hutan.
* Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan & Lahan (GERHAN) Tahun 2002 s/d 2007 seluas 3.376 Ha.
* Pemeliharaan Trubusan Hutan Produksi Terbatas seluas 125 Ha di RPH Penginuman Kec. Melaya Th. 2004 – 2005.
* Puncak Penghijauan dan Konservasi Alam (PPKAN)
* Pembuatan Demplot Sumber Benih secara swakelola di Kec. Melaya.
* Pembinaan Pengusaha Hutan Rakyat
* Pembibitan dan penanaman Program Bali Hijau
* Rehabilitasi Pengganti Kawasan Hutan Mangrove PT. BTID dan Angkasa Pura di Desa Budeng dan Kelurahan Loloan Timur.
* Kegiatan penanaman Penghijauan Lingkungan, Wanita Menanam dan Pelihara Pohon, Pekan Penanaman dan Pelihara Pohon, serta Penanaman Swadaya di Kabupaten Jembrana Tahun 2007 dialokasikan sebanyak 332.000 batang bibit.

POTRET PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG JEMBRANA

1. Kondisi Kawasan HutanLindung RTK 12 dan 19 Jembrana
Pengelolaan Hutan Lindung Kabupaten Jembrana dititik beratkan pada fungsi Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan Daerah Bawahan, namun pada kenyataannya sebagian areal Hutan sekitar 27 % tidak berfungsi optimal karena terjadinya perubahan secara fisik dan mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi Hutan menjadi Kawasan Budidaya. Berdasar Catatan Kawasan HutanLindung di wilayah RPH yang berstatus fungsi lindung RTK 12 dan 19 ( RPH Candikusuma, Tegalcangkring, Yeh Embang dan Pulukan ) saat ini diperkirakan 26,82 % atau 8.914,14 Ha dari luas 33.240,27 Ha luasan Kawasan Hutan Lindung telah rusak.
2. Sejarah Pengelolaan Hutan Lindung RTK 12 dan 19 Kabupaten Jembrana.
Degradasi areal Hutan fungsi Lindung di RPH Wilayah kabupaten Jembrana (RTK 12 dan 19) yang cukup parah tersebut tidak terlepas dari sejarah pengelolaan kawasan tersebut. Masuknya masyarakat luar Jembrana pada masa lampau secara histori saat Dewan Raja raja (Th. 1940–an) membuka peluang pembukaan areal untuk pemukiman bagi Penduduk dari luar Jembrana yaitu dengan memanfaatkan Kawasan HutanNegara Fungsi Lindung sebagai areal pemukiman dan perkebunan. Dalam perkembangan ternyata hal ini telah menimbulkan permasalahan penggunaan Kawasan Hutanyang berlangsung sampai saat ini. Kondisi ini kemudian semakin bertambah dengan adanya kebijaksanaan Pemerintah Daerah tentang Sistem pengelolaan Hutan yang memberi peluang dan legalitas bagi masyarakat untuk mengelola areal Hutan Lindung dengan sistem bagi hasil, tanpa didasari oleh sistem pengelolaan pemanfaatan Hutan secara menyeluruh di Kawasan Hutan di Bali. Akibatnya timbul kesenjangan dan kecemburuan sosial di beberapa wilayah yang memicu terjadinya kerusakan dan degradasi Hutan lebih lanjut. Beberapa contoh kegiatan yang melegal kan masyarakat sekitar Kawasan Hutandalam memanfatkan areal Hutan antara lain :
1. Tahun 1975 Pemerintah mengambil langkah kebijaksanaan bahwa Kopi pelanggaran tidak perlu dirabas dengan pertimbangan bahwa kopi adalah tanaman keras tidak menyebabkan longsor dan erosi dipertiimbangkan baik untuk pengaturan tata air. Hasil pemetikannya diambil alih Pemerintah yang ditangani oleh Dinas yang menangani KeHutanan dengan tujuan agar tidak menimbulkan Kecemburuan Sosial di masyarakat dan pelanggaran tidak semakin meluas lagi. Kemudian oknum penduduk yang mempunyai pelanggaran (tanah garapan) diminta juga kontribusi kepada Pemerintah yang hasilnya terus mengalami peningkatan. Dalam perkembangannya sejak itu mulailah pelanggaran besar-besaran. Masyarakat yang sebenarnya tidak terdaftar mempunyai pelanggaran juga ikut menyetor sesuai dengan target tetapi kompensasinya mereka melakukan perambasan untuk ditanami kopi dan pisang sebagai wahana pembukaan lahan baru dalam areal Hutan Lindung. Pada waktunya Kebijakan ini dihentikan, namun dilapangan sudah terlanjur berkembang secara pesat. Di Wilayah RPH Pulukan Luas Hutan Lindung 6.665,88 Ha, diprediksi 90 % telah berubah Penampilan menjadi fungsi Budi Daya tanaman Keras dan Industri.

2.Tahun 1999/2000 di wilayah Kampung Jawa, Kampung Medahan, Arca, Baler Setra yang difasilitasi sebuah LSM dengan berdalih konsep Hutan Kemasyarakatan, 90 % masyarakat yang memperoleh dukungan Bandesa Adat ngawen di Hutan secara serentak melakukan penanaman dalam Kawasan Hutandengan menanami selain jenis tanaman Produktif dan tanaman Kayu kayuan yang menghasilkan buah juga jenis Pisang, Coklat, Kopi dll.

3.Unit Organisasi / Lembaga Pengelolaan Hutan di Tingkat Tapak.
Pada hakekatnya bahwa kegiatan Penyelenggaraan Pengelolaan Hutan pada Kawasan Hutan Negara telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan yang kemudian diperbaharui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
Kegiatan Pengelolaan Hutan ini, meliputi kegiatan :

1. Tata Hutan dan penyusunan rencana pengelolaan Hutan;

2. Pemanfaatan Hutan;

3. Penggunaan kawasan Hutan;

4. Rehabilitasi dan reklamasi Hutan; serta

5. Perlindungan Hutan dan konservasi alam.

Dalam rangka pengelolaan Hutan untuk memperoleh manfaat yang optimal dari Hutan dan Kawasan Hutanbagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua Hutan dan Kawasan Hutan harus dikelola dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Oleh karena itu dalam pengelolaan Hutan perlu dijaga keseimbangan ketiga fungsi tersebut sesuai dengan hasil penetapan fungsi Kawasan Hutan.

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang KeHutanan mengamanatkan pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan pada tingkat unit pengelolaan, yang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 belum diatur sehingga pelaksanaannya tidak berjalan secara baik, bahkan banyak menimbulkan Kawasan Hutantidak terkelola dengan baik. Memperhatikan perkembangan di atas maka perlu segera diatur kembali pengelolaan Hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan Hutan lestari melalui pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) serta pengaturan Penyelenggaraan Pengelolaan Hutan. KPH yang dibangun merupakan kesatuan pengelolan Hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tata Hutan dan penyusunan rencana pengelolaan Hutan serta penyelenggaraan pengelolaan Hutan.

Sementara itu, saat ini di Propinsi Bali, rencana Peraturan Daerah Propinsi Bali tentang Pembentukan Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan melalui pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan ( KPH ) telah dipersiapkan dan saat ini telah sampai pada proses penggodokan di DPRD Propinsi Bali. Menurut rencananya Kawasan Hutandi Bali akan dibagi dalam 3 unit pengeloaan yang terdiri atas KPH Bali Barat, KPH Bali Tengah dan KPH Bali Timur.

Pembentukan KPH ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahan terkait dengan Penyelenggaraan Pengelolaan Hutan yang saat ini banyak mengalami gangguan. Sesuai dengan konsep Pembangunan KeHutanan Prop. Bali bahwa Hutan Bali diposisikan sebagai Sistem Penyangga Kehidupan yang merupakan satu kesatuan ekologi atau biasa disebut sebagai Ekosistem Pulau.

a.Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
Berdasarkan hasil Tata Hutan pada setiap unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ini dilaksanakan kemudian disusun Rencana Pengelolaan Hutan dengan memperhatikan aspirasi, partisipasi dan nilai budaya masyarakat serta kondisi lingkungan setempat. Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan terdiri atas :
1. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang dalam jangka 20 tahun. Rencana ini disusun oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan ( KKPH ), mengacu pada Rencana KeHutanan Nasional, Provinsi maupun Kabupaten.
2.Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek untuk masa jangka waktu 1 tahun, disusun oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala KPH. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek ini disusun berdasarkan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang .
Setelah adanya penyempurnaan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, maka Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dilaksanakan mangacu PP tersebut.
b.Pemanfaatan Hutan Pada Kawasan Hutan Lindung
Pemanfaatan Hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelesarian Hutan. Arah dan tujuan pemanfaatan Hutan itu sendiri yaitu pemnafatan Hutan secara lestari. Pemanfatan Hutan secara lestari harus memenuhi kriteria indikator pengelolaan Hutan secara lestari yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Kriteria indikator pengelolaan Hutan secara lestari ini akan diatur melalui Keputusan Menteri.
Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dapat berupa : a) Pemanfaatan Kawasan; b) Pemanfaatan Jasa Lingkungan, atau c) Pemungutan Hasil Hutan bukan kayu dan hanya dapat dilakukan pada Blok Pemanfaatan yang sampai saat ini pembagian blok ini belum diselenggarakan. Prinsip utama Pemanfaatan Hutan Lindung yaitu tidak mengurangi fungsi utama kawasan sebagai kawasan lindung.

Jika dicermati lebih jauh pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dimaksudkan untuk mendorong terciptanya pemberdayaan masyarakat terutama bagi masyarakat penyanding Hutan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi Hutan lindung sebagai amanah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Pemanfaatan Hutan yang diatur tersebut juga telah melindungi hak-hak masyarakat atas kekayaan Sumber Daya Hutan. Pola pengelolaan seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut juga dapat mendorong iklim investasi di daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan asli daerah, peningkatan daya beli masyarakat, dan kelestarian Hutan.



4. Pemberdayaan Masyarakat Setempat

Dalam PP Nomor 6 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembentukan KPH juga telah mengatur tentang Pemberdayaan masyarakat sekitar Hutan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat sumber daya Hutan secara optimal dan adil, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud merupakan kewajiban Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab kepala KPH. Pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui : Hutan desa; Hutan kemasyarakatan; atau kemitraan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kegiatan Pengelolaan Hutan utamanya Pemanfatan Kawasan Hutan Lindung khususnya di RTK 12 dan 19 di Wilayah RPH Kabupaten Jembrana dapat dilaksanakan sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.

Hal ini akan efektif dilaksanakan apabila Organisasi Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) sebagai Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan di tingkat Tapak (daerah) telah terbentuk. Organisasi ini nantinya yang akan mengatur Penatataan Hutan ke dalam blok – blok salah satunya blok pemanfaatan yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar Hutan. Selanjutnya atas dasar penataan pembagian blok-blok tersebut KPH menyusun Rencana Pengelolaan Hutan baik Jangka Panjang maupun Jangka Pendek.

Atas dasar Rencana Pengelolaan Hutan yang disusun KPH, pihak Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengajukan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar Hutan. Dengan pola pengelolaan Kawasan Hutan Lindung seperti ini diharapkan pengelolaan Hutan akan memperoleh manfaat yang optimal dan lestari dari Hutan dan Kawasan Hutan bagi kesejahteraan masyarakat tanpa merubah fungsi pokok Kawasan Hutan. Sehingga pada akhirnya konsep pembangunan KeHutanan Prop. Bali yaitu Hutan sebagai Sistem Penyangga Kehidupan yang merupakan satu kesatuan ekologi atau biasa disebut sebagai ekosistem Pulau, dapat terwujud.

Permasalahan yang ada, bahwa Kehadiran Lembaga Pengelola Hutan di Tingkat Tapak ini mutlak segera dibentuk dan direalisasikan dan didukung segenap Pihak. Bila tidak akan terjadi masa Stagnasi Pembangunan Kehutanan. Diperlukan terobosan serta langkah langkah konkrit semua pihak dalam mensukseskan Pembangunan Kehutanan sebagaimana diamanahkan Peraturan Pemerintah ini.




| Quote this article on your site || Views: 399 || E-mail

Comments (2)

RSS comments
1. Written by HamiudinThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it website, on 13-08-2008 15:55
memang banyak program pembangunan kehutanan yg selalu menjadi pertanyaan dan memberi keraguan dalam aplikasinya karena banyaknya faktor "X" yang menyebabkan "Y" tidak dapat berubah banyak. Namun Pembangunan KPH yang diamanatkan dalam PP No. 6 Th 2007 yang mengagendakan pola pembangunan kehutanan melalaui Community Forestry seperti Hutan Desa, HKm, Hutan Kemitraan, dll akan memberi pendekatan yang jelas dalam Pembangunan Kehutanan yang lestari. Pemanfaatan hutan yang terdesentralisasi dan Pengelolaan Hutan yang ter sentralisasi berdasarkan ekosistem daratan yg ada akan menjadikan peran serta dan manfaat langsung bagi masyarakat akan lebih mendekati mereka. Disamping itu perlindungan atas hak2 adat/desa penyanding hutan semakin mendapt tempat. Kita harus akui bahwa keampuhan Hukum Adat dalam pelestarian Hutan ternyata pd sebagian tempat jauh lebih unggul dibanding Hukum Negara. Seperti Suku Badui, Suku Anak Dalam, Sentani, Dayak, dll. Tapi itupun hanya lakality. Pada daerah-daerah tertentu dimana hukum adat/awig-awig hanya menjadi simbol ketika sebagian besar masyarakat desa telah menggantungkan hidupnya pada rusaknya hutan termasuk tokoh masyarakat setempat. lehnya itu perlu sebuah sistem dan wadah untuk mendorong terjaminnya hak-hak masyarakat adat/desa penyanding hutan melalui pemabngunan KPH yg Tata kawasan, perencana, pelaksanaan, dan hasilnya jelas. Jika kita mendalami lebih jauh tentang KPH maka akan terlihat bahwa KPH sama halnya dengan rumah sakit yang akan memberi jaminan kesehatan kepada pasiennya. Pengelolaan dengan model KPH telah menunjukkan prestasinya di Jawa, walaupun masih ada masalah tp memang begitulah program. Bagaimanapun kita harus optimis dengan lahirnya KPH. Soal itu adanya kekurangan dan penyimpangan, itu hanyalah kerjaan oknum tapi secara Grand Strategy, kita telah mempunyai koridor dalam mewujudkan Hutan Lestari, dan kita termasuk IKA SKMA harus bisa menuntut apa yang dirumuskan melalui KPH tersebut.
2. Written by ibk.wiranegaraThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it , on 13-07-2008 19:55
sebagus apapun programnya yang terpenting adalah "hutan lestari" dapat memberi manfaat sebesar2 kemakmuran rakyat seimbang antara pembangunan dan konservasi, saya melihat pembangunan hutan justru mengalami degradasi padahal SDM kehutanan sudah bertambah pintar, apa yang salah? programnya? opini saya programnya dari dulu juga sudah bagus (paling ganti kulit buat judul baru isinya banyak kopi paste atw hasil kanibalan dari beberapa program) cuma saja masalahnya selalu pada aplikasi. ditengarai kurangnya jumlah personel dan faktor alam selalu jadi kambing hitam penyebab kegagalam program2 kehutanan. (padahal biaya planingnya bisa jutaan bahkan ratusan juta). saya melihat faktor moral birokrat kehutanan masih jd faktor penting, mengingat justru orang dalam juga secara tidak langsung ikut sumbang peran akan rusaknya hutan (lewat ijin2 lewat peredaran kayu, keuntungan proyek2, sampai jualan bibit yang tidak jelas mutunya) mungkin cara yang efektif untuk mengatasi masalah 2 kehutanan yaitu dengan menumbuhkan rasa cinta akan hutan dan memandang pohon adalah manusia2 dalam bentuk lain yang juga perlu hidup dan beranak pinak. kita harus mempraktekkan hukum ketertarikan kepada hutan ( jelasnya baca "secret" best seller). khusus buat jembrana, sy optimis dengan bayi ungguknya dari paparan teorinya kayanya uda unggul banget, cm kalo uda lahir tp tingkat rusaknya hutan masih tinggi yg malu siapa?.so...mari dunc kita libatkan desa adat utamanya yang disekitar hutan, ya semisal dengan revisi awig2 desa yang mana didalamnya ada klausul yang mengatur tentang hutan dan pengurusannya secara langsung....jaya SKMA

0 comments:

Posting Komentar

Label

2011 News Africa AGRIBISNIS Agriculture Business Agriculture Land APINDO Argentina Australia Bangladesh benih bermutu benih kakao benih kelapa benih palsu benih sawit benih sawit unggul Berita Berita Detikcom Berita Info Jambi Berita Kompas Berita Padang Ekspres Berita Riau Pos Berita riau terkini Berita Riau Today Berita Tempo bibit sawit unggul Biodiesel biofuel biogas budidaya sawit Bursa Malaysia Cattle and Livestock China Cocoa Company Profile Corn corporation Cotton CPO Tender Summary Crude Palm Oil (CPO) and Palm Kernel Oil (PKO) Dairy Dairy Products Edible Oil Euorope European Union (EU) FDA and USDA Fertilizer Flood Food Inflation Food Security Fruit Futures Futures Cocoa and Coffee Futures Edible Oil Futures Soybeans Futures Wheat Grain HUKUM India Indonesia Info Sawit Investasi Invitation Jarak pagar Kakao Kapas Karet Kebun Sawit BUMN Kebun Sawit Swasta Kelapa sawit Kopi Law Lowongan Kerja Malaysia Meat MPOB News Nilam Oil Palm Oil Palm - Elaeis guineensis Pakistan palm oil Palm Oil News Panduan Pabrik Kelapa Sawit pembelian benih sawit Penawaran menarik PENGUPAHAN perburuhan PERDA pertanian Pesticide and Herbicide Poultry REGULASI Rice RSPO SAWIT Serba-serbi South America soybean Tebu Technical Comment (CBOT Soyoil) Technical Comment (DJI) Technical Comment (FCPO) Technical Comment (FKLI) Technical Comment (KLSE) Technical Comment (NYMEX Crude) Technical Comment (SSE) Technical Comment (USD/MYR) Teknik Kimia Thailand Trader's Event Trader's highlight Ukraine umum USA Usaha benih varietas unggul Vietnam Wheat