Delegasi Riau Sampaikan Masukan Delegasi Riau memberi masukan dalam Konfrensi Internasional Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO) ke-5 yang digelar di Hotel Shangri-la Kuala Lumpur Malaysia pada hari pertama, Senin (19/11). Pada waktu itu pembahasan tentang focus grup Pokja petani kecil atau TasK Force on Smallholders (TFS). Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Kuala Lumpurhefizon@riaupos.co.id
PERTEMUAN dipimpin oleh MarcusColchesterdariForest People Programme (FPP) Inggris didampingi oleh Nurman dari Sawit Watch Indonesia. Pertemuan diikuti oleh smallholders dari Australia, Swedia, Papua Nuigini (PNG), Malaysia dan Indonesia.
Masukan disampaikan oleh Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Rokan Hulu, Rudi Hartono. Menurutnya meski RSPO sebelumnya telah menelurkan semacam kode etik berupa prinsip dan kriteria untuk minyak sawit berkelanjutan agar di lapangan antara petani dan industri perkebunan kelapa sawit dapat bermitra secara saling menguntungkan, namun kenyataannya tidak seperti itu.
‘’Khusus untuk kasus di Rokan Hulu kami mengalami tekanan berat dan juga teror dari perusahaan perkebunan besar tertentu bahkan hingga jatuh korban jiwa di pihak masyarakat,’’ ujarnya.
Menurutnya, dalam praktiknya tak jarang warga pekebun atau petani kecil tak dapat berbuat apa-apa. Karena industri perkebunan besar menganggap lahan yang digarap pekebun kecil adalah masuk dalam HGU mereka.
Keluhan serupa juga disampaikan Cornelius dari Kabupaten Sambas Kalimatan Barat. Menurutnya ekspansi industri sawit di wilayahnya mengarah pada pengusiran warga tempatan. ‘’Masyarakat memiliki tanah dulunya berdasarkan hukum adat dan ternyata akhirnya diusir paksa oleh industri perkebunan dengan kekuatan hukum normatif semacam HGU dan sebagainya,’’ ujarnya berapi-api.
Sementara itu masukan Indonesia yang lebih sistematis disampaikan oleh Ketua SPKS Kaltim, Suprapto di forum internasional tersebut. Dalam paparannya, Suprapto menyampaikan ada lima poin penting persoalan yang terjadi di lapangan pasca RSPO ke-4 yang berlangsung di Singapura dua tahun sebelumnya. Pertama, pola kemitraan perkebunan inti dan plasma yang timpang. Kedua, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani kecil khususnya sawit. Ketiga, maraknya konflik lahan yang tidak diselesaikan dengan tuntas. Keempat, belum terlaksananya keadilan sosial dan lingkungan.
Masukan-masukan itu juga disampaikan oleh delegasi luar negeri lainnya. Masing-masing negara mempunyai masalah yang berbeda dalam mengembangkan pekebun kecil mereka. Pembahasan lebih detil kemudian dilakukan dalam rapat-rapat kecil untuk menyusun solusi yang akan dibawa oleh FTS dalam sidang pleno RSPO yang akan berlangsung besok (hari ini, red).
Di sela lokakarya menjawab Riau Pos, Marcus Colchester mengatakan bahwa memang untuk menyelesaikan persoalan lapangan perlu proses. ‘’Jika gol di sidang pleno nanti, kita mendesak agar rekomendasi RSPO lewat prinsip dan kriteria minyak sawit berkelanjutan itu diadopsi dalam kebijakan pusat maupun daerah,’’ ujarnya.
Sementara itu perwakilan industri sawit yang hadir pada pertemuan itu merespon positif adanya masukan-masukan tersebut. Misalnya wakil PT Asian Agri di Riau pada pertemuan itu mengharapkan agar RSPO dapat melakukan finalisasi draft yang ada sehingga ke depan kalangan industri sawit dapat bekerja lebih optimal. Lambatnya draft final membuat optimalisasi pekerjaan di lapangan belum tercapai.***
0 comments:
Posting Komentar