RSS Feed

Otonomi Daerah ¼ Hati

Posted by Flora Sawita


Otonomi Daerah (Otda), menjadi polemik baru di dalam birokrat. Adanya cita-cita untuk memperpendek rantai birokrasi, ternyata tidak membawa hasil yang positif bagi perkembangannya. Birokrasi yang ada tidak mempermudah selesainya suatu urusan, akan tetapi menjadikannya semakin berbelit-belit.

Otda menjadi sebuah era baru bagi munculnya raja-raja kecil yang memiliki kekuasaan politik besar di daerahnya tanpa memiliki kekuasaan absolut. Saat ini Otda yang dilakukan pemerintah Indonesia merupakan otonomi yang seperempat (1/4) hati.
Format Otda pasca reformasi bersifat asimetrik atau jomplang antara otonomi politik dengan kewenangan keuangan sehingga mengakibatkan pemerintah daerah mencari segala cara untuk membangun daerah masing-masing. Regulasi yang mendasari otda juga tidak mendukung, karena tidak adanya perbedaan mendasar antara dua UU yang dikeluarkan pada 1999 dan 2004.

Komposisi Penerimaan daerah 1999/00 – 2002 (%)

Deskripsi 999/00 2000 2001 2002

PROVINSI
PAD 37,22 32,20 30,23 26,65
Bagi Hasil 18,66 15,94 27,89 28,81
Transfer, dll 44,12 51,76 41,88 44,54

KABUPATEN/KOTA
PAD 10,31 9,04 4,94 5,92
Bagi Hasil 12,39 11,31 22,43 21,72
Transfer, dll 77,30 79,65 72,58 72,36


Otonomi politik (UU No.22/1999 dan UU No.32/2004) mengikuti format federalisme, yakni semua kewenangan pada dasarnya berada di tangan pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota), kecuali untuk 5 bidang yang memang karakteristiknya mengharuskan di tangan pemerintah pusat.
Praktis tidak terjadi perubahan mendasar dalam hal hubungan keuangan pusat dan daerah. UU No.25/1999 dan UU No.33/2004 tidak melimpahkan satu pun jenis pajak pusat menjadi pajak daerah. Yang terjadi Cuma sebatas bagi hasil PPh perorangan yang praktis hanya menguntungkan Jakarta saja.

Porsi Penerimaan Dan Belanja Daerah (%)

Deskripsi Penerimaan Daerah Belanja Daerah thd.
Thd. Total Penerimaan Total Belanja
Pusat&Daerah Pusat&Daerah
Negara2 Berkembang (1990an) 9 14
Negara2 transisi (1990an) 17 26
Negara2 OECD (1990an) 19 32
Indonesia 2000 4.7 17.1
Indonesia 2002 2,9 31


Akibatnya tentu saja merembet kepada sektor lain. Adanya rentetan masalah yang tidak kunjung usai membuat posisi Indonesia seolah-olah tidak menarik di mata investor.
Data yang di dapat dari WEF (2005) berdasarkan survey yang dilakukannya terhadap executive di beberapa negara, mengenai Faktor-faktor yang menghambat untuk melakukan bisnis di Indonesia. Sebanyak lebih dari 20% responden mengakui adanya inefisiensi birokrasi pemerintah dan lemahnya infrastruktuk lebih dari 18%. Belum lagi permasalahan regulasi pajak sebanyak 15% dan korupsi lebih dari 10%. Tentu saja ini merupakan indikasi negatif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Berikut data mengenai Kompetitiveness Indonesia di bandingkan dengan 49 negara lainnya menurut survey yang dilakukan International Institute for Management Development, World Competitiveness Yearbook selama 5 tahun.

Deskripsi 1998 1999 2000 2001 2002
Overall Rank 40 47 44 49 47
Economic Performance 41 30 36 41 41
Goverment Efficiency 35 46 41 45 45
Business Efficiency 41 46 45 48 49
Infrastructure 44 47 47 49 49

Pada akhirnya dengan banyaknya hambatan yang di dapat, tentu saja investasi berjalan sangat lambat. Ditambah persoalan daerah yang memiliki otda semu menambah persoalan di sana-sini. Otda yang membuat daerah memiliki kekuasaan politik akan tetapi tidak memiliki pendapatan sendiri sehingga keuangan masih diatur secara sentralistik membuat daerah membuat banyaknya peraturan untuk mendapatkan dana sendiri.
Persoalan yang kemudian muncul, apabila investasi meningkat apa yang di dapatkan pemerintah daerah?
Mungkin arah pembangunan harus disesuaikan kembali dengan hakekat pembangunan yang sesungguhnya; expansion of freedom sebagai perwujudan dari free will yang diberikan Sang Pencipta sehingga menciptakan kebahagiaan, perbaikan kesejahteraan masyarakat secara terus menerus, tumbuh dan berkembang, perubahan struktur ekonomi, struktur tenaga kerja pola konsumsi, distribusi pendapatan dan kelestarian alam serta peningkatan kualitas sumber daya alam.
Pada akhirnya semua peningkatan tersebut tidak terbatas pada kuantitas akan tetapi juga kualitas yang dimiliki. (IK)

(disarikan dari makalah Faisal Basri pada seminar yang diadakan KMSI pada 31 Mei 2006)

0 comments:

Posting Komentar

Label

2011 News Africa AGRIBISNIS Agriculture Business Agriculture Land APINDO Argentina Australia Bangladesh benih bermutu benih kakao benih kelapa benih palsu benih sawit benih sawit unggul Berita Berita Detikcom Berita Info Jambi Berita Kompas Berita Padang Ekspres Berita Riau Pos Berita riau terkini Berita Riau Today Berita Tempo bibit sawit unggul Biodiesel biofuel biogas budidaya sawit Bursa Malaysia Cattle and Livestock China Cocoa Company Profile Corn corporation Cotton CPO Tender Summary Crude Palm Oil (CPO) and Palm Kernel Oil (PKO) Dairy Dairy Products Edible Oil Euorope European Union (EU) FDA and USDA Fertilizer Flood Food Inflation Food Security Fruit Futures Futures Cocoa and Coffee Futures Edible Oil Futures Soybeans Futures Wheat Grain HUKUM India Indonesia Info Sawit Investasi Invitation Jarak pagar Kakao Kapas Karet Kebun Sawit BUMN Kebun Sawit Swasta Kelapa sawit Kopi Law Lowongan Kerja Malaysia Meat MPOB News Nilam Oil Palm Oil Palm - Elaeis guineensis Pakistan palm oil Palm Oil News Panduan Pabrik Kelapa Sawit pembelian benih sawit Penawaran menarik PENGUPAHAN perburuhan PERDA pertanian Pesticide and Herbicide Poultry REGULASI Rice RSPO SAWIT Serba-serbi South America soybean Tebu Technical Comment (CBOT Soyoil) Technical Comment (DJI) Technical Comment (FCPO) Technical Comment (FKLI) Technical Comment (KLSE) Technical Comment (NYMEX Crude) Technical Comment (SSE) Technical Comment (USD/MYR) Teknik Kimia Thailand Trader's Event Trader's highlight Ukraine umum USA Usaha benih varietas unggul Vietnam Wheat